08 March 2012


(Photo. aisyafra.wordpress.com)

Aku paling suka menikmati senja di sini. Di lantai paling atas gedung tertinggi di kotaku. Hanya di sini aku bisa melihat senja terindah, semburat jingga paling romantis, langit termanis, dan sore yang hangat. Di sini juga aku bisa menikmati setiap jengkal kenangan yang aku dan dia pernah lewati. Kenangan? Mungkin hanya bagiku, tidak baginya, entah.

“Senja itu selalu menyembuhkan.” Katanya pada suatu waktu bersamaku dulu. Dia yang membuatku bisa meresapi senja, menyusupkan damainya, dan menentramkan segalanya.

“Iyakah?”

Dia mulai memejamkan mata, begitu juga denganku. Kemudian Dia bercerita semua tentangnya, tentang sepenggal ceritanya bersama senja. Dan aku hanya mendengarkan, masih dengan mata tertutup, sama seperti dia.

Sejak saat itu, aku menetapkan bahwa aku dan dia adalah sepasang sunset lover. Hanya kami. Dan entah sejak kapan, aku menginginkan kami benar-benar menjadi ‘sepasang’, pasangan.

Hari ini, setelah sekian lama aku dan dia tak bertemu. Setelah begitu lama kami disibukkan dengan dinding kaca dingin,  otak kami disibukkan dengan bertumpuk kertas kerja, hari ini aku dan dia berjanji bertemu lagi di sini. Sedikit mengenang masa lalu katanya diponsel. Kini aku menunggu. Tidak lama, tapi seberapa lama pun itu, aku senang menunggunya, selama di sisi barat langit selalu ada senja paling romantis bersama sore yang hangat.

“Sudah lama?” sapanya ramah, seperti dulu. Duduk disampingku, tersenyum, kemudian menengadah.

“Cuma 2 jam, kok!” candaku. Tertawa, kembali menikmati senja. “Ada apa?”

“Menikmati kenangan. Senja selalu romantis, selalu hangat, selalu meneduhkan jiwa yang riuh.” Tuturnya panjang. Seperti dulu, memejamkan mata. AKu diam, hanya mengikutimu menutup mata, sama.

“Nissa, ini.” tangannya menyerahkan sebuah amplop hijau cantik.

Segera aku membuka mata. Meraih benda yang sodorkan. Cepat-cepat membukanya. Dan….

“Ini serius?”

“Tentu saja.”  Dia mengangguk mantap. “Akhirnya, aku bisa menemukan senja sesungguhnya. Senja yang menenangkan, senja yang hangat dan romantis, senja yang selalu bisa meneduhkan dan menyembuhkan. Hanya dia.”  Kembali menatap senja, tersenyum.

Aku diam. Hatiku,  entah sakit atau bahagia saat ini. Kabar gembira ini entah terlalu mendadak atau hanya aku yang tidak siap karena terlalu berharap.

“Dia senja terakhirku, Teman. Dan akan selamanya begitu.”

Aku tetap diam. Hari ini mungkin juga senja terakhirku di sini. “Selamat ya. Aku harap kau bahagia bersama senjamu.” Tersenyum.

Hatiku?

Tagged: ,

3 comments:

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^