23 March 2011


 pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Kubuka mata dan jendela kamar lebar-lebar, kudengar kicauan burung yang begitu merdu, kuhirup udara pagi yang segar. kulihat tetes-tetes embun  yang masih bergantung di ujung-ujung daun.
"Goog Roming, Moring!!!" teriakku bersemangat.
Iyupz, aku memang teramat berbahagia hari ini,karena sahabatku yang sudah sepuluh tahun hijrah ke Jakarta hari ini akan berada di Surabaya, dan pasti tak akan kusiakan hari ini. karena tidak lebih dari dua hari di kota kenangan kami.
Jauh-jauh hari kami telah memiliki rencana untuk mengisi hari ini, dan aku tidak akan terlambat menjemputnya di stasiun meski barang sedetik. Hari ini kami berencana untuk putar-putar kota Surabaya hingga larut malam. Seperti kebiasaan kami ketika sama - sama duduk di bangku kuliah dulu.
Segera aku mengambil handuk dan berlari masuk kamar mandi, betapa hari ini kunantikan, setelah sekian lama tidak bercengkraman dengan sahabatku, dan hari ini kami akan keluar  seharian. Seperti orang pacaran saja, tapi hal ini lebih penting dari pacaran, persahabatan yang amat mengesankan.
Jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 10.00 tepat, ponselku tak kunjung menerima sms dari Dina. aku mulai cemas, karena harusnya jam 10 pagi ini dia sudah sampai di stasiun. aku coba berpikir positif, mungkin keretanya memang mengalami keterlambatan.
Lama aku menunggu, kulirik jam tanganku lagi, sudah pukul setengah sebelas, namun tak kunjung ada sms masuk juga. karena tak sabar akhirnya kuputuskan untuk menunggu di stasiun saja. Hanya 15 menit, dan kini aku sudah berada di depan pintu stasiun. Memang tadi ku kebut motorku, karena aku tak ingin
sahabatku sampai lebih dulu dan harus menunggu.
aku masuk dan tidak kudapati sahabatku berada di sana, ponselku juga belum berbunyi. aku mondar-mandir kesana kemari, tapi Dina belum juga menampakkan batang hidungnya. kulihat jam tangan, dan ternyata sudah setengah jam lebih aku menunggunya di stasiun. aku semakin cemas, dan tak tahan. akhirnya aku bertanya pada bagian informasi stasiun.
"Permisi, Pak! Kereta dari Jakarta harusnya jam 10 tadi sudah datang, tapi kok belum ya, Pak?!"
Bapak bagian informasi itu diam, menatapku, dan jelas aku merasa aneh dengan tatapannya.
"Pak, apa memang ada keterlambatan?" tanyaku lagi.
"hmm, begini mbak, kereta yang dari Jakarta....."
"Plakkk!" Belum sempat bapak itu melanjutkan informasinya, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Hai cewek!" jawab seorang wanita yang tadi menepuk pundakku.
"Ahhhh, Dina!!! lama sekali datangnya!!" jawabku dengan berteriak kegirangan. Aku lupa dengan bapak bagian informasi, dan aku mengikuti Dina yang tengah menarik tanganku untuk pergi ke arah pintu keluar.
"Kok lama sih, Din?" tanyaku kesal.
"Haha, iya, tadi ada masalah pada keretanya, jadi terlambat." jawab Dina seraya tersenyum. "so, kita kemana dulu nih?" lanjut Dina.
"hmmmm,ke Timezone!!!" teriakku.
Kami berlari kecil menuju parkir motor, dan segera memacu motor matic hijauku. Aku membonceng Dina, karena dia tidak bisa mengendarai motor, dan tidak pernah mau mencoba belajar. Beruntunglah cuaca hari ini sangat cerah, secerah hati kami. Jadi tak perlu memikirkan jas hujan atau berteduh. Duo sahabat ini bisa bersenang-senang sepuasnya.
Selama diperjalanan menuju mall, kami bercerita panjang lebar tentang pengalaman masing-masing usai lulus kuliah. Maklumlah, sudah sepuluh tahun lamanya tidak bertemu, jadi pasti banyak pengalaman menarik yang ingin diceritakan.
Kami tertawa terbahak sambil bercerita, dan tanpa sadar semua mata dijalanan tertuju pada kami, memandang aneh, upz, mungkin suara kami terlalu keras. Tapi kami tetap cuek.
Sampai di Mall, kemudian aku dan Dina langsung lari menuju Timezone, membeli koin dan memainkan semua permainan di sana tanpa malu, dan pastinya tidak mau kalah dengan anak-anak kecil. Hingga lagi-lagi pengunjung di sana melihatku dan Dina dengan tatapan yang aneh, mungkin mereka juga terganggu.
Aku dan Dina paling senang permainan racing car, dan kami memainkannya berulang-ulang dengan taruhan bagi yang kalah harus memijit nanti malam.
Sungguh menyenangkan pergi bersama sahabat. Usai dari Timezone, kami berkeliling mall, memasuki semua toko yang ada, tanpa membeli barang, lebih tepatnya hanya window shopping dan bergaya seperti para borjuis. Seperti itulah kebiasaan kami ketika kuliah, bersenang-senang dengan cara kami, tidak perlu menghamburkan banyak uang, yang penting senang.
Tak terasa kami menghabiskan waktu 3.5 jam di Mall, dan saatnya kami menuju target selanjutnya, mengelilingi kota Surabaya di waktu sore. Memang seperti orang yang kurang kerjaan, tapi itulah kami, selalu melakukan hal-hal yang membuat kami berdua senang, tidak peduli orang-orang memandang ataupun berpikir aneh, yang penting kami senang.
Semua jalan di Surabaya kami lewati, merasakan angin, sengatan matahari sore yang hangat, tersenyum pada pengamen yang bernyanyi sengau di setiap lampu merah, menggoda orang-orang yang asyik pacaran di tiap taman di Surabaya. Tak lupa, kami juga mengabadikan moment, jeprat-jepret, narsis di depan kamera yang selali siap sedia di dalam tasku. Karena aku selalu menghargai setiap moment. Dan moment kali ini memang hukumnya wajib diabadikan.
Sejenak kami duduk di atas rumput taman yang hijau, tidak lembut, tapi cukup nyaman untuk bersantai di atasnya.
"Enak ya Din di Jakarta, pasti rame, aku pingin ke sana!"
"Nggak juga Lil, Jakarta itu kejam, aku harus senggol sana sini untuk tetap bertahan!" jawab Dina.
"Senggol?" tanyaku singkat.
"yupz". "kalo nggak nyenggol, kita yang bakal disenggol duluan, hehe" jawab Dina diiringi dengan tawa.
"Tapi kerjaanmu kan enak Din, asisten produser di televisi swasta besar, pasti nyaman dan gajinya gede."
"hahahaha" tawa Dina. "Nggak juga, Lil. Gajiku memang besar, tapi persaingannya kejam, aku harus benar waspada agar tidak disenggol di kantor. Mungkin mereka lebih senang kalo aku tidak ada di kantor, dari pada setiap hari harus beradu argument denganku". Jawab Dina panjang dan tajam.
"mati maksudnya?" tanyaku asal.
"mungkin!" jawab Dina singkat.
"wkwkwkwkkw, ada-ada aja ngomongin mati, we are young, and we are free!!!!" candaku pada Dina.
Namun Dina kini hanya tersenyum dan pergi menuju motor. Aku menghampiri Dina, kulihat wajahnya sendu, sepertinya dia sedang ada masalah. Mungkin persaingan dengan temannya di kantor membuat Dina lelah.
"Tenang sahabat, everything's gonna be ok!" kataku sambil menepuk bahu Dina.
"Kemana kita sekarang?" tanya Dina ala Dora The Explorer
"Tanyakan Peta!!!" jawabku bercanda, dan gelak tawa kembali menghiasi kami.
Aku dan Dina melanjutkan perjalanan menuju target tempat terakhir, pantai. Kami sangat suka mengunjungi pantai di malam hari. ombaknya besar, apalagi suara deburannya begitu menggoda
telinga. Rasanya ingin bersatu dengan mereka dan berucap selamat tinggal pada daratan. Tapi hal itu tidak pernah benar-benar kami lakukan.
Berlama-lama di pantai dan melihat pemandangan romantis antar dua insan memang cukup mengasyikkan dan berhasil melepas penat yang menempel di otak kami. Di tepi pantai, kami tidak banyak mengeluarkan suara, lebih banyak diam namun berbicara pada alam, menyampaikan semua yang kami rasakan.
Sudah jam 9 malam, dan waktunya aku mengantarkan Dina ke hotel.
"Din, udah malem, kamu nggak cari hotel?"
"Eh iya, ayookk!"
"Kenapa sih nggak nginep di rumaku aja, biasanya kan gitu."
"biasanya kan, ini nggak biasa, jadi aku nginep di hotel aja."
aku menuruti permintaan Dina, mengantarnya ke hotel dan tidak memaksanya lagi untuk menginap di rumahku. Dina adalah orang yang tak suka dipaksa, bisa marah dia.
Sampai di depan hotel, Dina turun dari boncengan motorku, dan berpamitan padaku
"lhoh Din, ngapain pamitan, besok juga masih ketemu, lagian aku kan mau nganter ke kamar kamu dulu."
"Nggak usah Lil, sampai sini aja. Udah malem." jawan Dina.
"Lhoh kok?"
"Udah." "Oh iya, maaf ya klo aku punya salah, Lil."
"Ihh, apaan sih."
Akhirnya aku pergi meninggalkan hotel, dan bergegas menuju rumah. Lelah sekali aku hari ini, dan ingin rasanya aku segera merebahkan punggungku di atas tempat tidur. Sampai di rumah, belum sempat aku masuk kamar, aku sudah disambut kedua orangtuaku di depan pintu.
"Kamu dari mana saja, Lila?" tanya ayahku dengan suara pelan.
"Lhoh, kan tadi Lila udah bilang, Lila pergi ama Dina, yah."  jawabku menjelaskan.
"Dina yang mana, yang kamu ajak pergi?" tanya ayah lagi.
"Dina yang mana?" tanyaku bingung. "Ya, Dina Praneswari, siapa lagi?"
Ayahku terdiam dan menunduk. Kemudian aku menengok ke arah ibuku, ibuku hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa sih?" tanyaku geram.
"Kereta yang tadi dinaiki Dina, mengalami tabrakan dengan kereta lain, semua gerbong rusak, dan tidak ada satupun penumpang yang selamat." jelas ayah.
"Hah??" tanyaku kaget. "Nggak mungkin, Lila tadi pergi sama Dina, yah!" teriakku. Aku tidak mengerti dengan perkataan ayah.
Dengan rasa kesal, aku berlari ke kamar, dan menutup pintu keras-keras. Aku tidak habis pikir dengan maksud Ayah dan Ibu. Kenapa mereka mengatakan Dina meninggal, padahal seharian ini aku pergi dengan Dina.
Ibu mengetuk pintu kamarku, kemudian masuk dan duduk di atas tempat tidurku.
"Ibu dan ayah tidak bohong Lila." "Tadi orangtua Dina menelpon, dan mengabarkan berita duka ini." tutur ibu perlahan.
"Nggak mungkin, bu!" "Hari ini, seharin Lila pergi bareng Dina, mana mungkin kereta Dina kecelekaan."
Aku tetap menyangkal seraya mengambil kamera dalam tas yang tadi digunakan untuk berfoto bersama Dina.
"Ini, ibu lihat deh, ada foto-fotoku sama Dina, hasil jepret  tadi siang, bu!" jelasku sambil mencari foto-fotoku dengan Dina. Lama kucari, tapi tak kutemukan satupun foto Dina. Semuanya hanya fotoku yang sedang bergaya sendiri. kupastikan sekali lagi, baju yang kupakai dalam foto itu adalah baju yang hari
ini kupakai. Tapi tetap saja aku berfoto sendiri, tak ada Dina di dalamnya.
"Nggak mungkin, bu!"
"Kenapa Lil?"
"Nggak mungkin!!" sergahku tak percaya.
"Kenapa Lila?" tanya ibu cemas.
"Semua foto Dina nggak ada, Dina nggak ada di foto bu!" teriakku.
Aku menangis sekencang-kencang dan mulai mempercayai berita tabrakan kereta itu. aku menyerahkan kameraku pada ibu, kemudian memeluk dan menangis sejadi-jadinya. Ibuku juga melihat foto-foto dalam kameraku, hanya ada foto-fotoku, dan tidak ada wujud Dina pada semua foto.
"Mungkin dia hanya ingin menepati janji, Lil!" ucap ibu mencoba menenangkanku.
Aku sudah tidak sanggup berucap apapun, ibu membimbingku ke atas tempat tidur, dan menyuruhku tidur. "Tenang ya sayang!" ucap ibu lagi. Sementara aku masih terpaku dan melihat isi kameraku. Memang tak ada foto Dina di sana. Aku menelungkupkan wajahku dibalik bantal, dan kembali menangis sejadi-jadinya. Sampai tak sagar aku tertidur. Mungkin karena terlalu lelah menangis dan lelah bersenang-senang seharian sendirian.
Besoknya, ibu membangunkanku. Ibu mengatakan bahwa jasad Dina sudah ditemukan dan hari ini akan dimakamkan di Surabaya, tempat kelahiran Dina. Ibu menyuruhku segera mandi, kemudian lanjut ke pemakaman sahabatku yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Dalam perjalanan ke pemakaman, aku masih mengingat kejadian kemarin. Bagaimana kami tertawa bersama, bagaimana kami bermain di Timezone, duduk-duduk di pantai, di taman, bercerita dan tertawa.
Pantas saja, bapak bagian informasi stasiun kemarin terdiam ketika kutanya tentang kedatangan kereta dari Jakarta, pantas saja orang-orang memandangku aneh, karena ternyata aku hanya berbicara dan tertawa sendiri tanda ada teman, mungkin mereka menyangkaku orang gila. Dan tak ada sms dari Dina, karena dia tidak pernah sempat mengirimkan sms padaku, apakah dia sudah sampai atau belum, karena sebenarnya dia tidak pernah sampai. Air mataku kembali keluar di dalam mobil, sementara ibu terus memelukku.
Sesampainya di makam Dina, masih banyak orang di sana. Namun jasad Dina sudah selesai dikebumikan. Aku terlambat, tak sempat melihat wajah cantik Dina untuk terakhir kali. Namun menurut keluarganya, wajah Dina sudah hancur, mereka pun mengenali jasad Dina dari kalung yang dia pakai.
Aku duduk di samping makam Dina, mengelus batu nisan Dina.
"makasi ya Din, kamu sudah datang kemarin. sudah membuatku senang, pergi ke tempat-tempat yang kita gemari dulu." Kataku pelan dan tak sadar air mataku meleleh dipipi.
Ibu Dina mengelus kepalaku. Aku tau, dia sangat terpukul dengan kepergian anaknya, melebihi aku. "Sabar ya tante!" ucapku dengan tersenyum.
Aku tak tau siapa dan wujud apa yang menemaniku kemarin seharian bersenang-senang, namun yang aku tau, dia adalah Dina, sahabatku. Seperti kata ibu semalam, Dina hanya mencoba untuk menepati janjinya.
"Semoga tenang disana sahabatku sayang"
google.com

Tagged: ,

0 comment:

Post a Comment

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^