25 March 2011


Beberapa hari ini, saya memikirkan tentang kejadian dua tahun lalu. Sesuatu yang sungguh saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Mungkin bukan hal terpenting, tapi  jika dibenahi maka akan menjadi penting.
Bukan hal tentang saya, namun tentang tempat yang saya gemari. Pantai.
Surabaya terkenal dengan pantai yang disebut Kenjeran.  Ya pasti, karena (setauku) hanya ada satu pantai di sini. Ini tentang pengalamanku ketika mengunjungi tempat itu. Namun sebelumnya, aku ingin terlebih dahulu menceritkan tentang pendapat banyak orang mengenai pantai tersebut.
Ketika kalian mendengar kata pantai, pasti yang terbayang adalah pasir, ombak, matahari yang indah, bau laut yang khas, pokoknya serba tentang kemolekan alam yang  ada tanpa campur tangan manusia di dalamnya. Namun ketika beberapa orang kutanya tentang pantai kenjeran, jawaban mereka tidak sama dengan bayangan di atas. Banyak diantara mereka mengatakan bahwa pantai Kenjeran adalah pantai yang bau, kotor, tidak terawat, bahkan ada celetukan seorang teman “mending aku sakit di tempat tidur, dari pada ke pantai kenjeran”. Ihhwau, memang separah apa pantai kenjeran?
Dua tahun yang lalu, saya pergi ke sana bersama dua orang teman. Maksud kami adalah ingin mencari tempat yang nyaman guna mengadakan Rapat akhir periode untuk organisasi. Tapi mungkin yang didapatkan di sana bukan kenyaman, namun hal lain.
Waktu itu malam hari. Kebetulan teman saya memiliki rumah di dekat situ, sehingga kami bisa masuk tanpa harus membayar. Ketika baru saja melewati pintu masuk, di sebelah kiri (sepertinya) ada sebuah taman, ada bangku-bangku panjang dan banyak pohon, tidak begitu jelas bentuknya, karena tak ada penerangan sama sekali di sana.
Setelah melewati taman, kami berbelok ke kiri, sepertinya ini adalah arah hotel atau motel di Pantai Kenjeran berada. Namun ternyata, taman itu cukup lebar, dan aku masih bisa melihat sisi taman yang gelap gulita itu. Kemudian samar-samar, kulihat dua sejoli yang sedang belajar mengendarai sepeda motor. Oh, ayolah, belajar mengendarai motor malam hari dan di tempat segelap itu, sepertinya mereka mau acrobat. Coba saja taman itu ada sedikit penerangan, pasti tidak akan digunakan sejoli yang belajar naik motor di malam gelap.
Tidak cukup sampai di situ, setelah memarkir motor di halaman hotel. Kami memasuki sebuah lobby hotel yang amat sangat sepi. Hotelnya cukup bagus, namun kami sangat dikejutkan ketika di bagian recepsionis terpampang tulisan “8 jam Rp 45.ooo,-“. Ihwau, hotel seperti apakah itu yang hanya dihargai Rp 45.ooo,- /8 jam? Setelah membaca tulisan tersebut, yang ada dipikiranku adalah, pantas saja Pantai Kenjeran terkenal dengan hal-hal “begitu”. Coba bayangkan, biaya sewa kamar hotel  semurah itu, pasti semudah itu juga “mereka” menyewa untuk “chek in check out”. Pikiran buruk? Pasti.
Kami tetap menuju lantai atas untuk melihat-lihat kamar di sana.  Kamarnya cukup luas, tempat tidurnya pun lebar, cukuplah untuk mengadakan rapat akhir periode. Ada jendela lebar yang menghadap ke arena balap kuda, entah masih digunakan atau tidak, namun di tempat itu penerangannya tidak jauh beda dengan taman yang kami jumpai di awal tadi. Kemudian pandangan saya beralih ke tempat tidur, tiba-tiba ingatan saya kembali pada harga Rp 45.000,- tadi, dan sesaat terpikir sudah berapa orang yang “tidur” di atas tempat tidur ini. Pikirku, lebih baik tidak menggunakannya. Dan kami putuskan untuk menolak kamar hotel itu.
Pencarian ini tidak sampai disitu saja, kami masih dibawa berkeliling menuju cottage-cotage yang ada di sisi lain pantai kenjeran.  Sampai di depan resepsionis, terpampang juga harga per malamnya, namun aku lupa pada kisaran berapa, yang jelas tidak jauh dari harga hotel tadi.
Dengan menggunakan motor, kami memasuki area yang dipenuhi dengan cottage. Bentuknya lebih mirip perumahan padat penduduk tipe 21 RSSS. Sekali lagi, penerangannya tidak terlalu banyak, remang-remang, dan bahkan ada yang gelap gulita, persis sekali dengan perkampungan mati yang penduduknya sudah digusur karena wabah penyakit. Memang ada cottage yang ditempati, namun jaraknya jauh.
Kami mencoba masuk ke dalam sebuah cottage yang jalanannya cukup terang dibanging dengan lainnya. Dan ternyata keadaannya memilukan. Garasi nya gelap, ruangannya juga sempit, pengap, dan berdebu. Pikirku, cottage ini lebih pantas jika digunakan untuk lokasi syuting film horror dari pada disewakan untuk menginap. Belum lagi melihat sekitar kanan kiri, sepi, sungguh mirip perkampungan hantu.
Belum sempat kami meninggalkan lokasi, tiba-tiba penghuni cottage depan kami datang dengan mengendarai motor. Mereka juga dua sejoli, entah dalam status menikah atau berpacaran, yang jelas mereka hanya datang berdua dan untuk menginap, karena setelah memarkir motornya dalam garasi, mereka bergegas masuk ke dalam dan menutup pintu rapat-rapat. Upz, apakah mereka suami-istri? Kalau memang suami istri, kenapa harus menginap di sini? Padahal nomor polisi motornya saja L (Surabaya), kalau memang orang Surabaya, kenapa harus menginap di tempat seperti ini? di rumah kan pasti lebih nyaman. Entahlah..
Kami benar-benar tidak ingin memilih tempat rapat seperti itu. Dan semua tempat kami tolak. Dan akhirnya kami beranjak pergi dari tempat itu, dan cukup sudah wisata malam kami di Pantai Kenjeran.
Tapi masih ada cerita lagi tentang pantai itu. Di suatu sore, aku dan temanku pergi ke sana, awalnya ingin menikmasti pantai di sore hari. Lumayan ramai, banyak orang berjualan dan pengunjung.  Kami duduk di pinggir pantai, memang benar, tidak seperti pantai-pantai saya kunjungi sebelumnya, pantai yang satu ini memang cukup kotor. Orang-orang yang berjualan di sampingnya, dengan sangat ringan tangan membuang sampah ke laut.
(Biasanya aku banyak menemukan tulisan “Dilarang membuang sampah di sungai”, nah yang ini tidak di sungai, tapi lebih besar lagi areanya, laut)
Ahh, memang cukup tragis tempat wisata yang satu ini. Coba pemerintah memberikan sedikit perhatian dan sentuhan kasih pada tempat ini, mungkin akan sedikit enak dipandang, dan tidak akan menjadi tempat “bersenang-senang” pihak-pihak nakal.
Coba lihat, pintu gerbangnya saja kumuh.
Cerita di atas hanya sekedar pendapat dari saya yang tak suka melihat pemandangan seperti itu, terlalu banyak hal negative. Maaf bagi yang kurang berkenan setelah membacanya ^^.

Tagged: , ,

2 comments:

  1. kurasa bahasany terlalu memojokkan Sei..., padahal isinya kurang hot. Maksud saya, bahasanya menutupi isi cerita, singkatnya begitu, hehehe. jgn tersinggung lho, cuma kritik, mohon maklum

    ReplyDelete
  2. Solenq, thanks untuk kritiknya, membantu sekali, mungkin memang saya harus banyak belajar menulis lagi..

    tapi bukannya sebuah tulisan kritikan akan banyak memuat bahasa yang memojokkan??

    btw, saya bingung dengan bahasa yang menutupi isi cerita, maksudnya gimana?

    makasi ^^

    ReplyDelete

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^