Sabtu malam yang biasa. Harusnya aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Bukankah sudah dari dulu seperti itu? Bukankah memang aku selalu berteman televisi, ponsel, laptop, atau apa saja yang bisa kujadikan teman sabtu malam. Tapi itu berbeda, sejak dia datang. Datang membawa janji-janji. Harap tentang hati yang terbungkus kasih sayang, berbalut sayang, dan berhias cinta.
Malam itu, aku menyebutnya malam terakhir. Iya malam terakhir aku bisa memandang wajahnya lamat-lamat dari jarak paling dekat. Memandang wajahnya yang lembut, menatap matanya yang meski tajam tapi sungguh terasa teduh. Malam ini, aku kehilangan. Bukan. Lebih tepatnya aku mulai merindunya.
Malam itu, dia memetik gitar. Mendengarkan sesaat musik dari ponsel, kemudian mencoba mencari nada pada tiap balok-balok kunci gitar. Iya, malam itu untuk kesekian kalinya aku terpesona oleh hamba Allah yang satu ini. Ah, mungkin berlebihan. Mana ada orang yang tidak bisa mencari kunci nada jika memang lihai bermain gitar. Iya, mungkin untuk bagian ini aku terlalu berlebihan. Tapi sungguh, saat itu aku terpesona olehnya untuk kesekian kali.
Dia mulai memetik gitar, dan aku mulai menyanyikan sedikit liriknya. Senyum itu, tawa itu, iya aku menikmatinya. Berharap esok akan terulang lagi. Berharap esok akan ada keadaan seakrab ini lagi, sedekat ini lagi. Tapi….
Dia terus memetik gitarnya menyelesaikan satu lagu. Dan aku? Aku hanya diam. Terpesona olehnya yang betapa dia selalu menganggap dirinya kecil, padahal dia adalah orang yang bisa melakukan banyak hal.
Saat itulah, saat aku menatapnya, saat seluruh ruangan hanya dipenuhi oleh suara petikan gitar. Saat itulah selaksar doa terucap dalam hati. Selaksar doa yang sama, yang selalu terucap ketika memandanginya, ketika dia bergegas pergi ke masjid ketika mendengar adzan, meninggalkan semua kesibukan duniawinya dan pergi shalat berjamaah. Ketika dia mengeluhkan sedikitnya pemuda yang shalat berjamaah di masjid, padahal banyak sekali nikmat yang dilimpahkan Sang Pencipta, namun untuk meluangkan waktu ke masjid saja mereka enggan. Ketika dia membanggakan betapa hebatnya islam, ketika dia menyusun program-program yang sungguh sempurna, ketika dia memiliki rencana besar, ketika untuk pertama kalinya aku melihatnya meneteskan airmata karena teringat umminya. Ketika dia terlelap di atas kursi tamu setelah lelah pergi seharian besamaku. Saat-saat itulah, selaksar doa itu benar terucap. “Ya Allah, jika dia memang Kau takdirkan untukku, sungguh dekatkanlah kami, tumbuhkan cinta kami, pertemukan cinta kami dalam ikatan suci yang Engkau ridhoi. Namun jika dia memang bukan takdirku, berikan yang terbaik untuknya, ya Allah. Dan kuatkanlah aku. Karena tanpa kekuatan dari-Mu, aku tidak pernah tau, apa aku bisa menghadapi putusanMu.”
Namun, mungkin malam itu adalah kali terakhir aku mengucap doa itu. Sejak hari itu, aku sungguh tak berani mengucap doa itu lagi. Aku tak berani. Ah, pantaskah aku berdoa untuk hati yang telah memilih hati yang lain? Bukankah bahagianya adalah hal penting.
Entah, Allah sudah mengabulkan doaku atau belum. Tapi aku yakin Allah mendengarnya. Bukankah Dia selalu mendengar ketika kita meminta, berdoa, memohon, atau berkeluhkesah? Hanya kita saja yang (seakan-akan) tidak mendengar perintah Nya. Bebal. Sok sibuk. Iya, Allah selalu berbaik hati pada setiap hambanya. Selalu sayang. Sungguh Allah selalu mencintai kita, dengan apapun suratanNya.
Dan pasti hal itu juga berlaku untuk perkara hati kali ini. Entah Allah sudah menjawab doa itu atau belum. Tapi yang aku yakin, Allah akan memberi yang terbaik. Bukankah Allah tidak pernah membiarkan sesuatu terjadi sia-sia? Hanya kita yang tak pernah menyadari ketidaksia-siaan itu.
Doaku, semoga Allah selalu melimpahkan yang terbaik untuk dia. Amin.
(Photo) |