02 January 2012


(Photo: klikunic.com)
Hari ini tanggal 2 Januari 2012. Saya rasa belum terlambatlah untuk menulis posting perihal perhelatan tahun baru yang baru saja terjadi kemarin. Semalam, saya sempat melakukan ritual blog walking ke beberapa blog.  Dan dari situlah, saya terinspirasi untuk menulis posting ini.

Malam tahun baru kemarin, hujan lebat di kota saya. Hari itu, kantor saya tidak libur. Saya masuk dan pulang kerja seperti biasanya. Sempat iri pada beberapa kawan yang libur, dan bisa pergi berlibur bersama keluarganya. Tapi setelah dipikir-pikir, tak apalah kalau harus masuk kerja. Ini rejeki.

Semakin sore, langit semakin mendung dan hujan tak kunjung berhenti. Salah seorang teman kantor saya, tiba-tiba nyeletuk, “Gak iso tahun baruan wis.” (read: Gak bisa tahun baruan, deh). Saya heran dengan celetukan barusan. Dalam hati, So Why? Emang harus gitu ngerayain tahun baru?.

Honestly, saya nggak pernah merayakan moment pergantian tahun. Bagi saya, tahun ini dan tahun baru tidak beda jauh. Lagian, besok sama-sama hari Minggu seperti biasa, kan? Saya setuju dengan posting milik Irma DeviSantika, hanya kalendernya saja yang berubah. Iya, hanya tahun, bulan, dan tanggalnya saja yang berubah. Toh besok kita tetap melakukan aktivitas yang sama, kan?

Bukan berarti saya adalah orang yang tidak memiliki harapan. Tapi apakah harapan hanya ada ketika tahun berganti saja. Bukankah setiap pagi ketika kita membuka mata, itu artinya ada harapan baru lagi? Apakah perubahan hanya terjadi ketika tahun berganti saja? Bukankah ketika kita ingin berubah menjadi lebih baik, harusnya segera dilakukan? Tidak perlu menunggu tahun depan, kan? Apakah menjajikan, mereka yang ketika malam pergantian tahun merayakannya dengan pesta pora, kemudian ketika tanggal 1 Januari mereka berubah menjadi orang yang berbeda? Kalau iya, sumpah itu MAGIC.

Saya juga setuju dengan posting milik mas Asop dan perkataan seorang teman kerja saya bernama Zulfi. Mereka mengatakan hal yang sama. Yaitu, pergantian tahun, sama saja dengan berkurangnya waktu. Lalu kenapa dirayakan? Orang merayakan makin berkurangnya umur mereka dengan cara berpesta pora. Kata mas Asop, sama seperti ketika berulangtahun. Merayakan berkurangnya umur dengan bersenang-senang. Aneh.

Tapi ya sudahlah. Entah kebudayaan mana yang sudah menyusup, kemudian menjalar atau mungkin mendarah daging. Bahwa yang namanya pergantian tahun, harus dirayakan dengan spektakuler. Meniup terompet keras-keras, berkonvoi bersama teman atau pacar, pasang musik keras-keras, bahkan ada yang sampai minum-minuman keras. Pagi ini saja, saya baru baca berita di Kompas, tentang meningkatnya penjualan kondom di Kota Jombang ketika Tahun Baru. 

So, Is it a New Year Eve? Or A New Year Evil?

Bukankah harusnya kita merenung?

Tagged: ,

4 comments:

  1. seharusnya perubahan untuk lebih baik tidak harus menunggu setahun/pergantian tahun,setiap saat perubahan yang dilakukan mengingatkan untuk slalu introspeksi diri dan optimis mencapai target,perayaan itu hanya ritual dimana orang hanya mencari pembenaran diri atas aksinya untuk peristiwa yang universal....:)

    ReplyDelete
  2. smua hanya ritual yang justru dimanfaatkan secara sia2,seharusnya perubahan terjadi setiap saat sebagai interospeksi diri dan optimisme untuk kedepan

    ReplyDelete
  3. Wah, di Surabaya dan sekitarnya hujan ya, pas tahun baru? Menurutku sih itu patut disyukuri, orang2 jadi ga bisa ngerayain di luar rumah. Hehe...

    Dan saya ketawa pas mbaca penjualan kondom naik pas kemarin. Hahahaha... :D

    ReplyDelete
  4. malem minggu kemaren saya d kantor.. lembur.. cari napkah.. demi sesuap McD..

    ReplyDelete

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^