Aku pernah bertemu dengannya. Sekali, dua kali. Sekilas. Tak mengesankan apa-apa. Dia tidak cantik, tidak pintar, hanya baik, sopan, dan dekat dengan Tuhan. Itu pun kata teman-temanku yang pernah satu kelas mata kuliah dengannya, dan kutangkap dari cara dia berterimakasih ketika aku tak sengaja menahannya saat akan jatuh.
Saat itu aku tak menyukainya. Dia bahkan tidak masuk dalam kriteria perempuan idamanku. Aku seorang mahasiswa populer dengan IP yang selalu nyaris 4. Sedangkan dia, mendapat IP 2,75 saja, itu sudah bagus untuknya.
Saat itu aku tak menyukainya. Dia bahkan tidak masuk dalam kriteria perempuan idamanku. Aku seorang mahasiswa populer dengan IP yang selalu nyaris 4. Sedangkan dia, mendapat IP 2,75 saja, itu sudah bagus untuknya.
Kemudian, aku dan dia tidak bertemu lagi untuk sekian lama. Menahun. Aku lulus lebih dulu. Entah berapa selisih tahun kami lulus. Yang jelas, dia tertinggal.
Sampai akhirnya, Tuhan kembali mempertemukan kami dalam sebuah…
kecelakaan.
Tak tega rasanya aku menceritakan bagaimana keadaanku saat itu. Jangan bertanya. Dunia ini diam, atau mungkin aku yang selalu diam. Tak mau bergerak, atau mungkin memang tak bisa bergerak?
Entah.
Namun yang jelas. Dia yang tak pernah diam menghiburku. Dia yang tak pernah berhenti bergerak menemaniku, membantuku merangkak, berjalan bahkan berlari.
Setiap detik. Menit. Jam. Hari. Minggu. Bulan. Dan Tahun…
Kemudian aku sadar. Aku telah jatuh cinta.
Rasanya tak perlu wajah cantik dan otak pintar seperti dalam kriteriaku.
Aku hanya butuh dia, dengan segala ketulusannya. Aku hanya butuh dia, dengan segala kesabarannya
Hingga di suatu sore ketika dia sedang menemaniku menikmati hangatnya senja di atas kursi roda, aku bertanya, “Kenapa kau mau melakukan ini untukku? Bahkan di luar sana, masih banyak lelaki sehat yang tak perlu merepotkanmu mendorong kursi roda ke sana kemari.”
Dia tersenyum, dan berkata, “Karena, aku mencintaimu dengan hati, itu saja.”
Dan senja pun terasa semakin hangat. Seperti dia, yang selalu hangat, karena hanya butuh hati untuk mencintai. Bukan emosi.
“Karena, aku mencintaimu dengan hati, itu saja.”
ReplyDeletewauww..jawaban yg dalem dan diplomatis...
suka sama word nya "Karena, aku mencintaimu dengan hati, itu saja"
ReplyDeletenice blog :)
loh ini yg nulis cowo pa cewe,, rada2 kok isi postingannya tentang cewe,,
ReplyDeleteaseek... mencintai dengan hati ni yeee... ^^
ReplyDeletesweet. .
Ckckck,,, sweet banget dah... haha... Bagus. :)
ReplyDeleteBuset dah ~
ReplyDeleteHeii mbak ini sudah nulis novel blm sih ?
huss sana nulis novel kirim ke penerbit!
Ahhhh jengkel kalau mbak gak terbitin novel :D
hahahaa
saya sudah banyak membaca cerita seperti ini,
tapi mbak ngebungkusnya beda :D
sayangnya fiksi ya...
ReplyDeletekalau beneran bener2 bisa nangis bombay nih baca endingnya :)
ini menarik dibuat film..atau bisakah aku menjadikannya tema buat motret??nice flash fiction...i really really like it
ReplyDeletemas Insan dan Dhannii: haha, mungkin saat itu saya menulis kalimat ini juga
ReplyDeletedengan hati :D
mas Kahfi: yang nulis cewek tulen kok mas, tapi tokoh utamanya laki-laki :D
iume dan Rain : sok sweet ato so sweet? :P
Uchank: wkwkwkwkw, kamu nyuruh orang nulis kaya ngusir ayam, hihihi :P
Trisna: ihhh kalo beneran, mau donkkk....
mbak ria: tema motret? boleh tuwww, tapi kaya apa jadinya ya? *penasaran :D
Semoga kekasih saya nanti mencintai saya dengan hati... :)
ReplyDeletecerita yang bagus. nyentuh.
ReplyDeleteseperti yang Uchank bilang. kenapa tidak nulis novel saja? atau antologi FF (Flash Fiction) utk dikirim kepenerbit. insya Allah lolos lho, tulisan mbak bagus *spirit ^^
Asop: aminnnnn
ReplyDeletechilfia: doanya aja ya mbak ^^
terkadang cinta tumbuh dan ada karena butuh yaa... :D
ReplyDelete