16 May 2011

“Sudah kamu putuskan?” suara ibuku mengejutkan. Sampai-sampai aku hampir terjatuh dari atas jendela. Kebiasaanku dari kecil, ketika aku mulai merasa galau.

“Apanya bu?”

“Hendrik, siapa lagi?”

Aku membuang pandang ke halaman rumah. Diam. Aku bosan dengan pertanyaan ibu. Kenapa dia selalu memintaku putus dengan Hendrik. Alasannya saja konyol. Sudah berbulan-bulan pertanyaan itu seliweran di telingaku, tapi aku selalu menjawabnya dengan diam.

Kutarik nafas dan menahannya beberapa detik. Kuangkat kakiku. Menapaki lantai rumah. Mendekati ibuku. “Ibu kenapa tow?” tanyaku mencoba lembut.

“Lhow, kok malah tanya. Ibu kan sudah berkali-kali minta kamu putus sama Hendrik!”

“Iya, tapi kenapa bu?” suaraku mulai serak. Hampir terisak. Kutahan.

“Dia sama kamu itu beda, nduk!”

“Apanya yang beda?” teriakku kesal.

“Dia China!”

“Tapi islam!”. “Apa yang salah dengan China? Mereka baik. Nggak pernah membedakan.”

“Memang kamu tau keluarganya baik?”. “Di depanmu?”

Ibu tertawa sinis. Berlalu dari hadapanku, dan menghilang di balik pintu dapur. Aku menunduk. Mencari kursi, dan menghempaskan badanku di atasnya. suara gerutu ibu masih terdengar. Memberikan sumpah serapah pada mas Hendrik. Mataku panas. Pedih, bingung, heran, teraduk-aduk dalam hatiku. Dijaman semodern ini, masih membedakan etnis?

Jika ibu tau perasaanku. Bagai memakan buah simalakama. Aku ingin patuh pada ibu, tapi aku juga mencintai mas Hendrik. Kututup wajahku. Kutahan nafas, dan setitik air mata bertengger disudut mata.

Sudah hampir sebukan aku tak bertemu mas Hendrik. Mencoba mematuhi ibu. Tapi ibu tak mengerti aku. Percuma.

kudengar suara pintu diketuk. Aku menengok, dan kulihat seorang lelaki bermata sipit sedang berdiri menunduk di bibir pintu. Aku tersenyum. Bangkit, segera menghampirinya.

“Mas Hendrik?”

Dia hanya membalas senyuman. Mengelus rambutku. Ingin rasanya kukatakan rinduku. Apa kabar, mas? Naik apa kesini? Ada apa? Banyak pertanyaan yang berebut ingin keluar dari mulutku. Hingga tak satupun yang meluncur.

“Mungkin kamu benar, hubungan ini seperti rokok dan yogurt. Tak mungkin berada di satu jalan” tuturnya dengan wajah yang sangat datar. Masih berdiri di bibir pintu. Aku bingung. Kenapa ini? sebulan tak bertemu, tak rindukah? Kenapa malah mengatakan hal sekonyol itu?

Mas Hendrik mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat. Bersih tanpa tulisan di depannya.

“Maaf ya!” kata terakhir darinya. Kemudian pergi begitu saja. Hanya meninggalkan amplop coklat dan sejuta tanya.

Perlahan kubuka amplop itu, mengeluarkan isinya. Kubaca. “Hendrik & Veni”.

Tagged: , , ,

2 comments:

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^