30 October 2011


Photo. hildanurina.wordpres
Aku baru saja bangun tidur ketika aku mendengar ibu sedang berbicara dengan seseorang. Sepagi ini? Bicara dengan siapa ibu? Tanyaku dalam hati. Samar-samar kudengar ibu menyebut-nyebut ‘Mas’. Rupanya ibu sedang berbicara dengan kakakku yang sepertinya amat beliau rindukan. Sudah sebulan ini, hampir setiap hari ibu meneleponnya, meminta kakakku pulang barang sebentar. Rasanya hampir mirip merengek. Dan pagi ini, sepertinya juga begitu.
Aku mengendap-endap, mendekati ruangan di mana ibu sedang menelepon. Benar saja. Ibu memang memang sedang meminta kakakku pulang. Entah sudah kali keberapa ibu memohon pada kakak untuk pulang. Rasanya aneh memang. Biasanya ibu tidak pernah begitu. Tapi satu bulan ini, berbeda.

Sudah tak ada  suara. Mungkin percakapan mereka sudah selesai. Seperti biasa, semua diakhiri dengan adegan ibu berdiri diam, lama, dan gagang telepon masih menempel di telinganya. Seakan ibu benar-benar tidak rela melepas anak laki-lakinya, meski hanya suara saja.

Aku mendekati ibu. Kini jalanku agak cepat. Aku takut, kalau-kalau ibu jatuh karena harus menahan rindu pada anak laki-laki satu-satunya.

“Bu!” panggilku pelan. Ibu terkejut, segera mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, dan cepat-cepat menghapus airmata yang sudah sedari tadi meleleh di pipinya. Mungkin agar tak terlihat olehku. Padahal aku sudah tau, tapi aku diam. “Bu, mungkin Mas sedang sibuk. Jadi belum sempat pulang.”

Ibu tersenyum, lalu duduk di kursi dekat meja telepon.  “Ibu hanya merasakan sesuatu yang hanya seorang ibu yang bisa merasakannya, Dek!”

“Sudah, Bu. Mungkin ibu cuma kangen aja sama Mas. Paling minggu depan Mas pulang.” Hiburku.

“Semoga ibu masih bisa ketemu Mas mu ya.”

“Lhoh, kok ibu ngomong gitu?”

“Kadang manusia tidak punya cukup waktu untuk menyelasaikan semua urusan hidupnya. Karena waktu manusia itu terbatas.”
Aku diam. Terkejut dengan apa yang diucapkan ibu barusan. Ada apa ini? Ucapan ibu seperti ada yang akan meninggal saja. Dan perasaanku kini juga menjadi amat tidak enak. Seperti ibu.

Siang ini, kakiku melangkah malas ke kampus. Ucapan ibu tadi pagi masih terus terngiang di telingaku. Waktu yang terbatas. Ada apa? Apa hanya karena kakakku tidak kunjung pulang? Ah, mungkin ibu hanya menyimpan rindu berlebihan, jadinya merasakan sesuatu yang bukan-bukan, batinku mencoba menghilangkan prasangka buruk.

Lama-lama aku tidak tahan. Masuk kelas dengan rasa galau seperti itu benar-benar bukan hal yang menyenangkan. Usai kuliah, aku memutuskan untuk menghubungi kakakku. Aku ingin bicara padanya. Aku ingin dia mengerti, betapa ibu rindu dan ingin bertemu anak laki-lakinya.

“Hallo!” suara diseberang sana terdengar terburu-buru.

“Halo. Mas kamu nggak pulang?”

“Aduhhh, tadi pagi ibu yang nelepon. Sekarang kamu. Kan aku udah bilang. Aku sibuk, masih nggak bisa pulang.”

“Sebentar aja, Mas! Ibu kangen kamu.”

“Kangen kan bisa nanti-nanti ketemu. Tapi kerjaan ini nggak bisa nanti-nanti.”

“Tapi kan cuma perlu waktu 2 jam untuk pulang ke rumah. Sebentar aja!”

“2 jam kan perjalanannya. Nah ngendon di rumahnya? Pasti lama, kan? Lagian setiap bulan kan udah ada kiriman uang.”

Aku kesal mendengar kalimat terakhir kakakku. Maksudnya apa dengan kiriman uang? Bahkan harta segudang pun tidak akan pernah bisa menggantikan rasa rindu ibu pada anaknya. Aku diam. Mataku panas. Kutarik napas dalam, menahannya.

“Mas, waktu manusia itu terbatas.” Selesai. Kututup telepon. Aku tak ingin lagi mendengar kakakku berbicara.

Sudah malam ketika aku pulang kuliah dengan perasaan kesal. Mendengar perkataan kakakku tadi, membuatku menyesal sudah meneleponnya. Untuk apa aku buang-buang pulsa hanya untuk orang sok sibuk seperti dia? Bahkan pekerjaan lebih penting daripada ibunya.

“Kamu kenapa? Kok ditekuk begitu mukanya?” tanya ibu ketika aku melepas sepatu di depan pintu.

“Nggak pa-pa, Bu. Cuma lagi sebel sama orang.”

“Siapa?”

“Orang  aneh, Bu.”

Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatku seperti itu. Dan aku bergegas ke kamar. Rasanya ingin segera melampiaskan rasa kesalku pada bantal guling. Aku sebal.

***

Pagi ini rumah begitu sepi. Aku tak mendengar  ibu yang sedang menelpon seperti pagi sebelumnya. Rasanya aku sedang sendirian di rumah. Aku ke kamar ibu, memastikan ibu ada di kamar dan baik-baik saja, tapi ternyata ibu tak ada di sana. Aku keluar rumah, mungkin ibu sedang berbelanja di depan, namun ternyata, sama. Ibu tak ada di sana. Kemana ibu?

Perasaanku jadi tak enak. Aku mulai khawatir. Waktu yang terbatas, tiba-tiba saja aku ingat kalimat itu. Sambil terus mencari ibu ke seluruh rumah, aku mulai menangis. Apa maksudnya waktu ibu yang sudah terbatas. Akhirnya, pencarianku berakhir di belakang rumah, di kamar mandi. Dan benar, aku melihat ibu sudah terkapar di lantai kamar mandi. Kepala ibu terluka, dan banyak darah di dalam sana.

“Ibu!” teriakku. Berkali-kali aku menggoyang-goyangkan badan ibu, tapi ibu tak kunjung bangun. Tangisanku semakin menjadi ketika para tetangga membawa ibu ke rumah sakit. Di dalam mobil, aku terus memandangi ibu. Perasaanku mengatakan, ibu tak akan kembali lagi ke rumah. Tak akan lagi menelpon kakakku setiap pagi. Tak akan lagi menanyakan kenapa wajahku ditekuk. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan ibu. Aku takut dengan waktu yang terbatas seperti kata ibu kemarin.

Sampai di rumah sakit, dokter langsung memeriksa ibu. Aku menunggu di luar. Tak boleh masuk. Kata suster agar tidak mengganggu. Berkali-kali kugigit bibir bawah, berusaha menghentikan tangis. Aku tak bisa duduk, mondar-mandir adalah hal ternyaman sekarang. Lama sekali dokter memeriksa ibu. Apa yang terjadi di dalam?

“Ada keluarga pasien yang ikut kemari?” tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang periksanya.

“Saya, Dok!” jawabku lantang seraya menghampiri dokter. Aku ingin segera memastikan bahwa ibuku baik-baik saja.

“Mbak….” Kata-kata dokter terputus. Perasaanku tak enak.

“Kenapa?”

“Mbak, saya minta maaf sebelumnya. Tapi sepertinya ibu Mbak terlambat di bawa ke sini. Sudah kehilangan banyak darah. Maaf, Mbak. Saya harap, Tuhan memberikan tempat terbaik untuk ibu Mbak.”

Bagai tersambar petir. Terlambat? Ya Tuhan. Apa maksudnya ibu tidak akan pulang ke rumah lagi bersamaku. Apa maksudnya sudah habis waktu ibu bersamaku? Aku menangis, meraung seperti bayi. Beberapa tetangga yang ikut bersamaku ke rumah sakit berusaha menenangkan dan mengingatkanku untuk istighfar. Tapi kini aku hanya bisa menangis di samping ibu.

Ibu berfirasat tentang dirinya sendiri. Berkali meminta kakakku pulang, karena dia takut tak bisa melihat wajah anak laki-lakinya untuk terakhir kali.

Malam ketika tinggal sedikit pelayat yang datang. Aku baru menghubungi kakakku. Tapi kali ini aku tak meneleponnya. Aku hanya mengiriminya sms. Semoga dia tidak sesibuk kemarin untuk terkahir kali melihat ibu.

Mas, waktu manusia itu terbatas. Sayangnya, waktu ibu kini bukan sekedar terbatas, tapi sudah habis.


*Teman, terkadang kita melupakan sesuatu yang penting, karena tertutupi oleh hal lain yang kelihatan penting. Hidup ini singkat, teman.

Tagged: ,

15 comments:

  1. sedih :'(
    jadi ingat keluarga.. ceritanya mengingatkan saya sebagai manusia, bahwa kesempatan itu sangat sempit, jgn sampai menyesal dikemudian hari.

    ReplyDelete
  2. saya mengambil sepenggal postingan saya "Untukmu Ibunda"

    Pernahkah kita sadari betapa besarnya pengorbanan bunda
    pernahkah kita ucapkan terima kasih padanya
    Seimbangkah balasan yang sudah kita berikan atas jasanya..?
    Rasanya tidak mungkin...!
    Kebaikan yang kita persembahkan seumur hiduppun
    Tidak mampu menebus jasa perjuangan beliau
    Saat berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan kita

    Ketahuilah....
    Surga dan neraka ditentukan sikap kita kepada orang tua
    Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua
    dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua.
    Barang siapa berbakti kepada orang tua maka surga tempatnya
    Barang siapa yang durhaka maka neraka telah menantinya

    ReplyDelete
  3. Sedih saya lagi pengen nangis..dan kisah kamu bikin saya makin nangis...^_^...semangat..

    ReplyDelete
  4. kalau saya malah kebalik nih ,, sepagi begini,, merindukan ibu yg berada di kota lain,, yg sdh hampr 2 thn tdk pulang kampung nih saya

    ReplyDelete
  5. aresss...sori baru berkunjung balik...sedih banget,,jd kangen mama,, :(
    lebaran depan baru bisa ketemu... hiks

    ReplyDelete
  6. Jlebb -_-
    kenapa harus membacanya... :"(

    ganti template lagi yak :|
    gak bosan2 nih hhe

    ReplyDelete
  7. ya ampun :( memang tidak ada yang pernah benar-benar paham bagaimana alur ya.

    ReplyDelete
  8. hanya ingin mengikuti postingan agan .
    salam kenal yya .
    www.hajarabis.com

    ReplyDelete
  9. @Irma: hayuuukk, segera pulang dan mengatakan rindu pada mereka :D


    @mas Insan: Kasih ibu, memang tidak akan perna tergantikan oleh apapun.


    @mbak Ria: cerita tentang ibu, selalu membuat galau anak-anaknya :D hehe

    ReplyDelete
  10. @mas Kahfi: wewww, cepetan pulang mas, mumpung kangennya belum meluber-luber, hihihi


    @iume: weits, sang Praja, napa minta maap?? Gak ada undang-undang yang mengatur jadwal Blog Walking kok, hehe


    @Uchank: haha, Jlebb banget kah Chank??

    ReplyDelete
  11. @Sheno: iya, hidup, mati, jodoh, itu rahasia Tuhan :)


    @21inchs: hehe, ini cuma cerita fiksi kok, bukan nyata :D


    @Hajarabis: monggo diikuti, dengan senang hati :)

    ReplyDelete
  12. untungnya setiap hari sheno komunikasi dengan mama sheno. serta berusaha ketika ada waktu harus bertemu meskipun jauh.

    ReplyDelete
  13. merinding sekali membacanya mba...

    saya setuju, waktu kita terbatas! jadi kangen ortu, pulkam ah...

    salam kenal y mba :)

    ReplyDelete
  14. @Sheno: Alhamdulillah kalo gitu ya Sheno ^__^

    @Shine: wehehehe, merinding gimana? nggak ada setannya lho padahal, hihi :D , terimakasih sudah berkunjung.. ^^


    Btw, Shine dan Sheno. Sodara'an? hihihi

    ReplyDelete

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^