24 August 2011

Tahukah kamu bagaimana rasanya ketika mengetahui orang yang kamu cintai dan kamu sayangi ternyata tidak berjodoh denganmu? Lebih tepatnya tidak mencintaimu. Limbung. Tak tahu harus bagaimana. Dan tahukah kamu apa yang kamu perlukan saat itu? Akal sehat, hati yang lapang, dan Tuhan.


Sore itu aku mantabkan langkahku menuju tempat kami janji bertemu. Seperti cenayang, tak henti-hentinya aku menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti. Ingin kubayangkan sebuah akhir bahagia, namun perasaanku berkata lain. Ada rasa tak nyaman yang mengikatku. Aku bergidik. Kuhentikan langkahku. Ragu. Ingin kubalikkan badan, mengambil arah lain. Namun hati kecilku berkata Jangan. Untuk apa lari? Seperti pecundang saja.  Seorang pemain bola terburuk pun akan terus mengejar bola meski dia tahu tak akan pernah bisa membobol gawang lawannya. Dan kakiku tetap melangkah maju, meski kini kecepatannya hilang separuh.

Udara sore itu begitu hangat. Membuatku yang tengah bergelayut sendu menjadi semakin melankolis. Hembusan angin mengantarkan dedaunan kering menari di antara debu jalanan. Sebuah pemandangan yang biasa, namun menarik perhatianku yang sekedar ingin mengalihkan kalut. Kalut? Aku saja belum tahu pasti apa yang terjadi. Bersedih karena pikiran sendiri. Banci, pikirku.

Aku sengaja memarkir kendaraanku cukup jauh dari tempat janjian. Hanya mengulur waktu. Setidaknya dengan berjalan kaki, aku masih bisa memberikan sedikit celah longgar dalam hatiku yang setiap detiknya semakin sesak. Sekaligus memberi kesempatan pada mataku untuk melihat tiap detil pemandangan sore yang jarang kunikmati, sebelum mataku memanas dan mengucurkan berliter air tanpa mempedulikan kejadian sekitarnya.

Namun sayang, satu sms dari dia baru saja masuk. Menanyakan keberadaanku. Tak kubalas. Aku bergegas ke sana. Duduk di depannya dan berbicara. Menepati janji.

Udara sore semakin hangat. Kini aku telah berdiri di sebuah kedai kopi modern yang dibangun dengan gaya arsitektur belanda. Kuno, namun tak terkesan angker. Kuedarkan pandangan menyusuri setiap detil tempat itu. Mobilnya sudah terbujur rapi sendirian di pojok pelataran parkir. Iya, dia sudah sangat siap. Dan aku?

Aku mengambil napas panjang, kemudian melepasnya perlahan. Kupandangi pintu masuk kedai kopi yang terbuat dari kayu dengan warna coklat tua. Tak banyak orang yang hilir mudik di sana. Sepertinya kedai sedang sepi sore ini. Kulirik jam tanganku, 4.05. Sudah lima menit aku terlambat dari waktu yang ditentukan. Sebenarnya aku tak ingin terlambat, aku hanya tak ingin berada di sana. Duduk di depannya dan berbicara. Menepati janji.

Aku harus ke sana, batinku menguatkan. Aku yakin masih memiliki secuil persediaan akal sehat, sejengkal hati yang lapang, dan tentunya Tuhan. Kupejamkan mata, berkomat-kamit seperti membaca mantra, lalu kuakhiri dengan mengucap, Amin. Inti dari doaku singkat, Tuhan, kuatkan aku.

Kudorong pintu kayu itu, jantungku berdebar. Perasaan tidak enak itu menguat. Lagi-lagi aku ingin berbalik arah, berlari sejauh-jauhnya dari tempat itu. Terlambat. Sudah kepalang tanggung. Bagaimana bisa berlari jika sudah berada di depan mulut singa?

Aroma khas kopi menyelebungi tempat ini, sedikit terhirup olehku, menyegarkan. Aku penyuka kopi. Dalam sehari aku bisa menghabiskan lima cangkir kopi bahkan lebih jika sedang didera bertumpuk kertas kerja.

Kusapukan pandangan keseluruh kedai. Suasananya tenang, beberapa lampu yang mungkin hanya berkekuatan 5 watt menerangi tempat ini. Romantis, tenang, dan tidak membosankan. Samar-samar kudengar musik bernada country mengalun menemani setiap asap yang mengepul dari cangkir-cangkir kopi.

Pandanganku berakhir pada sesosok berwajah dingin. Iya. Hanya dia satu-satunya yang berpostensi membuat tempat ini menjadi amat dingin untukku. Aku menelan ludah. Tak kunjung kulangkahkan kaki menuju meja yang dia tempati. Meja nomor 13.

“Bisa saya bantu, Mbak?” pelayan kedai itu mengganggu persiapanku menemuinya.

“Nggak usah. Saya udah ada janji kok.” jawabku sembari melempar senyum tipis pada pelayan kedai yang umurnya kira-kira hampir sama denganku.

Aku melenggang. Meninggalkan pelayan kedai. Mendekati meja nomor 13. Mendekatinya. Kuambil napas dalam-dalam, melepasnya perlahan.

Ini adalah kedua kalinya kami bertemu setelah beberapa waktu lalu tak sengaja bertatap muka dengannya di sebuah toko buku. Saat itu aku amat yakin bahwa kami berjodoh. Karena aku percaya tidak ada kebetulan di dunia ini, semua sudah diatur oleh-Nya. Hari itu sehabis sholat subuh, aku berdoa, “Tuhan, jika hari ini aku bertemu dengannya. Kuharap dia adalah takdirku.” Doa itu begitu saja meluncur dari mulutku. Tulus.

Sejak saat itu aku makin akrab dengannya. Kegemarannya yang sama denganku, membaca, membuat kami saling bertukar cerita tentang novel-novel yang telah habis kami lahap. Aku tidak pernah benar-benar berkenalan dengannya. Dia berada dalam akun facebook ku karena saran seorang teman. Dan interaksi kami hanya sebatas berkomen status masing-masing hingga berujung di sebuah messenger.

Dia hangat, meski berwajah dingin. Sejak awal kawanku menyebut namanya. Kukuh. Ada sesuatu yang bergetar di dadaku. Bahkan ketika seorang teman dengan iseng ingin menjodohkan kami, aku pun tak men-deny, namun juga tidak mengiyakan. Seketika aku yakin ada sesuatu yang direncanakan Tuhan untuk kami. Dan keyakinanku biasanya tak pernah salah.

Entah apa yang membuatku begini. Menjadi konyol karena harus merindui bahkan mencintai seseorang dari kehidupan maya. Biasanya aku selalu membatasi siapa saja yang kukenal dari situ. Tapi tidak untuknya. Aku bersikap terbuka. Aku nyaman. Aku percaya akan nyata dan hadirnya.

“Hai, Mas Kuh?” sapaku riang. Iya. Aku memanggilnya dengan panggilan ‘Mas’. Bukan karena aku menganggapnya kakak, tapi karena umur kami terpaut jauh. Dia 29, aku 23 tahun. Dan aku jatuh cinta padanya.

Si empunya nama mendongakkan kepala. Melihatku. Tersenyum cerah. “Hai, Nis! Kirain nggak jadi dateng!” sahutnya seraya tangannya memberi kode mempersilahkanku duduk.

“Ya nggaklah! Maaf ya telat dikit. Tadi ada masalah sama mobilku.” Kataku bohong. Biasanya aku selalu gagal berbohong. Kata teman-temanku, perkataan dan wajahku tidak sinkron. Semuanya mengekspresikan keinginan masing-masing. Dan jelas, bahasa non verbal lah yang lebih bisa dipercaya dari pada lisan.

“Nggak pa-pa. Santai aja lagi!” jawabnya tetap riang.  Entah apa yang membuatnya begitu riang. Wajah dinging bercampur dengan keceriaan, sebuah perpaduan yang unik dan menarik. Apa karena bertemu denganku? Aku mulai ke-GR-an. Setidaknya rasa gundahku sedari tadi lenyap saat itu. “Mau pesan kopi?”

Aku mengangguk. Seorang pelayan kemudian datang menghampiri meja kami. “Ada yang bisa dibantu?”

“Saya pesan satu kopi cappuccino ya, Mbak! Kamu Nis?”

“Hmm, sama. Jadi dua kopi cappuccino ya, Mbak!” jawabku seraya menyerahkan buku menu.

“Baik, dua cangkir kopi cappuccino akan segera kami antar. Permisi!” tutur pelayan itu dengan amat sopan. Mungkin ada sekolah khusus untuk menjadi pelayan di kedai kopi ini. Semua pelayannya lembut, sopan, dan pintar menyusun kata.

 “Ada apa nih, Mas?”

“Hmmm, aku mau minta tolong sama kamu. Boleh?” matanya mengerjap-ngerjap.

“Minta tolong? Apa?”

“Kamu kan jago nulis. Bisa buatkan aku rangkaian kalimat manis?”

Aku nyengir. “What? Bukannya kamu juga jago nulis? Tiap hari update facebook mu isinya kalimat pujaan, Mas!”

Tiba-tiba tawanya membahana keras. Untung kedai sedang sepi. “Itu bukan aku yang bikin. Aku mana bisa seromantis itu.” katanya jujur masih dengan tawa yang ditahan. “Buatkan ya?!”

“Untuk?” keningku mulai berkerut.

“Untuk mawarku.” Jawabnya dengan senyum terlebar yang pernah kulihat. Saat itu wajahnya tak hanya perpaduan antara dingin dan riang, tapi bercampur hangat. Perasaan tak enak yang sedari tadi menghantuiku kini menyusup sesak di dada. Aku sulit bernafas. Kini satu-satunya orang yang berpotensi membuat hawa dingin benar-benar menciptakannya. Dan benar saja. Aku mulai menggigil. Diam. Tenggorokanku tercekat. Jantungku berdebar.

“Permisi, ini pesanannya. Dua cangkir kopi cappuccino.

“Terimakasih, Mbak.” Sahutnya tersenyum.

Aroma semerbak kopi yang wangi membuatku sedikit hangat. Mauku langsung menyeruputnya, tapi sayang, asap yang mengepul dari cangkir itu terlalu tebal. Pasti panas, pikirku. Jadi kuurungkan niatku.

“Mawarmu siapa, Mas?”

“Perempuan pastinya.” Jawabnya bercanda.

“Siapa?”

Dia terdiam menatapku. Tersenyum. “Nih!” Mas Kukuh menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. Foto seorang wanita berparas cantik, dengan rambut hitam panjang. Matanya tidak terlalu lebar seperti mataku, bibirnya tipis, dan senyumnya manis.

Aku tersenyum melihat foto itu. “Cantik.” Komentarku singkat.

“Alhamdulillah.”

Kubuang pandanganku menatap jendela kaca dengan pemandangan pelataran parkir. Dadaku semakin sesak. Aku bingung. Antara kaget, kecewa, dan sakit. Inikah perasaan sendu yang dari tadi bergelayut manja mengikutiku. Kugigit bibir bawahku, sementara tanganku kuletakkan dibawah meja dan meremas sekuatnya taplak yang menjutai ke bawah. Jika saja aku bisa mencabik-cabik taplak ini. pasti sudah kulakukan.

“Nis? Kamu kenapa?” tanyanya mengejutkanku.

“Eh! Owh, nggak pa-pa kok. Cuma liat pelataran parkir itu lho. Kok sepi amat, ya?” sungguh alasan yang terlihat dibuat-buat. Semoga Mas Kukuh tak menyadarinya.

“Hah? Pelataran parkir?”

“Eh, udah-udah. Iseng aja kok. So, siapa nama mawar cantikmu?” tanyaku mencoba tenang, menyimpan rapat-rapat kegalauanku.

“Rosella.” Jawabnya mantab.

“Rosella.” Ucapku lirih mengikuti Mas Kukuh. “Nama yang cantik seperti orangnya.” gumamku.

“Jadi kapan kamu bisa mulai menulis, Nis?”

Aku diam tak menjawab. Apa sanggup aku menulis untuknya? Bukan. Lebih tepatnya untuk Rose, pujaannya. Bingung. Kuambil cangkir kopi di depanku, langsung meneguknya tanpa kutiup lebih dulu. Panas. Aku lupa kalau kopi ini baru saja terhidang. Lidahku rasanya terbakar. Tak ada sensasi kopi yang menjelajahi lidahku. Mati rasa. Mungkin seperti ini hatiku saat ini. Mati rasa.

“Panas, Nis?” tanyanya nyengir.

“Eh, nggak kok. Aku suka kopi yang panas gini.”

“Really?”

“Absolutly.”

So?”

Ponsel Mas Kukuk berbunyi. Dia memberikan tanda padaku untuk menjawab nanti. “Assalammualaikum mawar cantik!” Sepertinya dari Rose. Kulirik jam tangan, 5.00 tepat. Sekali lagi kubuang pandanganku ke pelataran parkir. Aku sama sekali tak berminat mendengar percakapan mereka. Lidahku masih panas.

Sinar matahari sore kian menyusut, tak sepanas tadi, kini lebih gelap dan makin dingin. Kurapatkan jaketku. Rasa dingin yang hinggap tak kunjung hilang. Aku mulai tak enak badan sekaligus hati. Saat ini aku ingin berada di rumah, tak perlu kemari menjemput peti mati. Membunuh mati rasaku dengan kenyataan pedih, dan membunuh mati lidahku dengan kopi panas.

Mataku mulai panas. Ah, jangan di sini, batinku. Berkali-kali kuusap mataku. Memastikan tak ada setitik air mata pun yang mencuri start nya lebih dulu. Aku tak mau meraung seperti bayi di sini. Bukankah aku masih memiliki secuil akal sehat? Kutarik napas dalam, mencari sejengkal hati yang lapang.

Tuhan, kusebut Dia dalam hati. Mungkin dia bukan takdirku. Aku tahu setiap lorong memiliki ujung, begitu pula dengan kota dingin yang berganti musim. Aku tak akan lagi mengharap terik matahari di tengah badai salju. Tak kan lagi memintaMu agar dia menjadi setengah jiwaku. Kini aku hanya memohon kuatkan aku. Cinta ini datang dari-Mu, dan kukembalikan seutuhnya pada-Mu.

Kupejamkan mataku, dan setitik airmata sudah tak mampu lagi kutahan diujung mata. Cepat-cepat kuhapus. Aku tak memiliki alasan apapun untuk menangis. Kembali kulihat Mas Kukuh yang masih tenggelam bersama ponselnya. Kuminum kopi yang tadi menyiksa lidahku. Sudah hangat.

Tagged: , , , ,

17 comments:

  1. "You're my destiny". Mungkin itu kata yg tepat untuk orang yg kita cintai tapi tidak sebaliknya,,

    Kalimat ini yg saya suka "Cinta ini datang dari-Mu, dan kukembalikan seutuhnya pada-Mu." :)

    Salam Bloofer!!!
    Follback ya http://yudhimovic.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. "You are my destiny"? agak bingung saya. bukannya tidak berjodoh?

    Btw, sudah saya follback. Terimakasih sudah baca posting saya ya mas Yudhi :D

    Salam Bloofers!! ^^/

    ReplyDelete
  3. Salam kenal sobat.
    saya suka blog dan tulisannya..
    Kunjung balik ya!!!

    ReplyDelete
  4. Kembalikan semuanya kepada Tuhan.. DIA yang tahu siapa pasangan kita.

    keren sis.. aku suka tulisanmu..

    aku juga kadang merasa dejavu dengan orang yang baru aku kenal. merasa dia lah jodoku. tapi tuhan berkata lain. bukan dia ternyata.

    aku setuju kata katamu sis, saat semuanya tak sesuai harapan kita maka

    Akal sehat, hati yang lapang, dan Tuhan lah yang akan menyembuhkan kekecewaan kita.

    salam kenal sis.. kunjungi aku ya ? http://aridudul.blogspot.com/

    and follow me ya?

    ReplyDelete
  5. @Edi: tenkyu edi ^^, okeh nanti ku kunjungi blog mu :-D

    @Ari: haha, iya semuanya harus dikembalikan pada Dia. Anggap saja ini cobaan..

    Makasi ya sudah berkunjung. Pasti ku kunjungi balik plus ku follow. Ditunggu ya ^^

    ReplyDelete
  6. waw... kisah rindunya kok tragis... ^^

    ReplyDelete
  7. Hai, Ady...

    hihihi, tragis kah ceritanya?

    tapi emang begitu sih nyatanya, beda sama yang diharapkan. :D

    ReplyDelete
  8. Terjemahkan lebih dalam lagi??? Kadangkala seseorang menunjukkan sikap yang sangat diluar pemikiran dan harapan karena keinginannya untuk tidak menyakiti perasaan. Lebih baik berpura-pura tidak tahu kalau jeng Annisa itu ada rasa sama si "Ehm-ehm", dengan cara menunjukkan seseorang lain yang bisa membuat jeng Nissa ini sedikit mengerti isyarat tersembunyi dari si "Ehm-ehm". Atau... Ah, sok tau banget sih.

    Wesss...

    ReplyDelete
  9. Siang Pak Tukang Pos,

    Mulia sekali dia karena tidak ingin menyakiti orang lain. Tapi pura-pura tidak tau, apa iya dibenarkan?

    Pak Pos, tau nggak? komentar mu sederhana tapi mengena. Bahkan saat menulis posting yang satu ini, saya nggak berpikir ke situ. :D
    dan itu Atau apa? nggak diteruskan komennya..

    Terimakasih ya sudah berkunjung. Btw, blog nya Pak Pos lucu ya.. nggak mau klik kanan, hahaha ^^

    ReplyDelete
  10. i think it's very hurt.. T.T
    i love this "Cinta ini datang dari-Mu, dan kukembalikan seutuhnya pada-Mu."
    mungkin itulah satu2nya cara untuk tegar pada cinta tak bisa disatukan.. :)

    btw, sepertinya ada beberapa detail yang terlewatkan jenk.. :D
    * nice story..

    ReplyDelete
  11. Yeah It's hurt darla :)

    btw, akhirnya ada koreksi dari mbak Nadia, hehee

    tolong sebutin yang mana detail yang terlewatkan? :)

    ReplyDelete
  12. ini salah satunya..
    "Udara sore semakin hangat. Kini aku telah berdiri di sebuah kedai kopi modern yang dibangun dengan gaya arsitektur belanda. Kuno, namun tak terkesan angker."

    kedai kopi modern, tapi habis itu disebutkan bangunannya kuno.
    atau aku yang salah mangerti? :D

    ReplyDelete
  13. Kedai kopi modern itu maksudnya, kedai yang pelayanannya modern dan menyediakan kopi yang di olah secara modern. Tapi bangunannya dibentuk kuno, membangun image lawas aja ^^

    ReplyDelete
  14. bagus tulisannya mbak..:), bahasanya sastra banget , pasti suka baca sastra ya..:)

    ReplyDelete
  15. Suka deh tulisannya, izin follow ya mba'..singgah ke blog saya ya,ya ;)*ngareep

    ReplyDelete
  16. @tabi: alhamdulillah kalo bagus. lumayan suka sih, tapi masih belajar :D


    @Evi: silahken. dengan senang hati blog ini menerima pembacanya. nuhun ^^

    ReplyDelete
  17. TUHAN....berilah hambah kekuatan,kesabaran.keihlsan serta kebaikan...amien.^_^

    ReplyDelete

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^