23 August 2009


saat itu, ingin sekali rasanya aku balik menendang laki-laki itu. Laki-laki itu??? Hohoho, aku menyebutnya seakan aku mengenalnya. Padahal, aku sama sekali tidak kenal dia. Aku juga tidak pernah berharap untuk mengenalnya.

Aku bertemu laki-laki itu di sebuah pusat perbelanjaan di kota Sidoarjo, kemarin. Waktu itu, aku dan ibuku tengah menunggu bapakku membayar belanjaan. Kami menunggu di dekat pintu keluar, tapi posisinya masih di dalam. Karena tidak ingin diserang kebosanan, aku dan ibuku membicarakan harga-harga barang yang tadi kami beli. Belum banyak yang mengalami kenaikan, yaahh..karena masih belum mendekati lebaran, baru puasa hari pertama. Jadi, orang-orang masih belum terlihat berburu barang untuk persiapan lebaran.

Sambil mengobrol dengan ibu, aku melihat sekeliling tempat perbelanjaan itu. Meskipun belum mendekati lebaran, ternyata sangat padat. Di depanku ada beberapa pegawai toko yang bertugas memeriksa barang belanjaan sebelum pembeli keluar. Lalu aku melihat seorang laki-laki berkaos hitam dan bercelana jeans sedang bersama dengan seorang anak laki-laki kecil yang umurnya kira-kira masih 4 tahun. Anak laki-laki itu terus menguntit lelaki itu. Sepertinya dia adalah ayah dari anak itu.

Mereka berdua seperti tengah menunggu seseorang, mungkin istrinya yang sedang berbelanja. Anak laki-laki itu tidak lagi berdiri di belakang ayahnya. Dia sekarang berdiri di sebelah kanan ayahnya, namun sedikit maju. Mungkin dia ingin melihat keadaan toko itu lebih jelas tanpa terhalang badan ayahnya yang pasti jauh lebih besar dan menghalangi pandangannya.

Anak laki-laki itu berparas apik, mungkin kalau dia sudah besar nanti dia akan menjadi idola wanita. Rambutnya tidak keriting, tapi bergelombang. Kulitnya putih bersih seperti sinar dari dalam matanya yang masih memancarkan keluguan seorang bocah kecil di bawah lima tahun.

Tanpa dia tau, ternyata dia berdiri di belakang petugas pemeriksa barang belanjaan. Waktu petugas itu selesai memeriksa barang belanjaan, tidak sengaja petugas tersebut menabrak bocah laki-laki yang tengah berdiri tepat dibelakangnya. Bocah itu terjatuh tepat di samping kaki kanan ayahnya.

Ketika anak itu jatuh, segera muncul film documenter buatanku sendiri yang di dalamnya sedang menampilkan cerita tentang anak laki-laki yang jatuh tadi. Dalam filmku ditampilkan, mas petugas toko akan segera menolong anak laki-laki itu dan mengatakan maaf. Kemudian sang ayah segera memegang bahu anak itu dan mengatakan “sudah gak apa-apa! Lain kali hati-hati ya..sini pindah sebelah kiri ayah!” itu tampilan film documenter versiku.

Namun kenyataan tidak semanis cerita dalam film documenter itu. Akan aku lanjutkan cerita sebenarnya. Setelah bocah itu jatuh tepat di samping kaki kanan ayahnya, pantat anak itu langsung menerima tendangan mantab dari ayahnya.

“Bak” suara tendangan.

“Ayo bangun!!!” bentak ayahnya.

Dengan tatapan mata yang super bengis dan amarah yang meluap-luap, kata-kata kasar juga ikut mengalir keluar dari mulutnya.

“GOBLOK!”

“Mangkannya jangan nakal! Disuruh diem kok!”

“Sini kamu!” lanjutnya sambil menarik tangan anak laki-laki itu dengan kasar.

Kemudian laki-laki itu diam sebentar dan kembali mengamati ke bagian dalam toko. Mungkin saat ini dia tengah salting, karena suaranya yang keras tadi telah membuat semua mata tertuju padanya. Mas petugas toko yang awalnya ingin menolong anak itu, malah tidak menolong karena sepertinya takut dengan reaksi tak terduga yang ditunjukkan si ayah aneh itu.

Sambil melihat laki-laki itu dengan rasa jengkel, dalam hati aku mengatakan “Hei Mas, Pak, Oom…itu anak dari tadi gak ngapa-ngapain! Wong dia cuma berdiri di sebelahnya situ kok dibilang gak bisa diem! Lagian tuh anak jatuh, gara-gara ketabrak mas-nya bukan karena nakal!!!”

Aku kira hardikan dan makian ayah aneh itu sudah selesai, ternyata masih dilanjutkan lagi. Sambil melihat anaknya, masih dengan tatapan bengis dia mengatakan “kenapa?”

“NANGIS??”

“Kaya BANCI aja!!”

“gak usah NANGIS!!”

“JANGAN KAYA BANCI!!”

Haduh..kenapa dengan ayah yang ini. Kenapa dia terus mengucakan kata-kata kasar kepada anaknya yang kira-kira baru berusia 4 tahun. Bukankah anak sekecil itu juga sudah punya perasaan?? Apa maksud laki-laki itu menghardik anaknya di depan umum? Apa dengan begitu, dia merasa akan terlihat sebagai ayah yang tegas, hebat, pemberani, dan patut ditiru. Hohohoho….aneh sekali kalau begitu.

Tidak lama kemudian, dia menelpon seseorang. Setelah menutup telponnya, dia bergegas pergi tanpa menggandeng anaknya. Lalu dia berhenti di tengah pintu dan kembali membentak anaknya.

“Ikut gak??”

“Ya iyalah dia ngikut! Kalo gak ikut situ, lha dia mau ikut sapa?? Dasar orang aneh!!” kataku dalam hati.

Anak laki-laki itu lari menghampiri ayahnya. Kemudian mereka pergi keluar toko. Lagi-lagi laki-laki itu tidak menggandeng anaknya.

Astagfirullah, kok ada orang seperti itu. Betapa tega dia melakukan itu pada anaknya yang masih kecil. Mudah-mudahan kejadian ini cuma sekali aku temui, dan tidak ada orangtua lain yang meniru hal tersebut.

Tagged: ,

0 comment:

Post a Comment

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^