05 April 2009

Pagi itu sekitar pukul 08.30 WIB, aku berada di salah satu taman di kota Surabaya, tepatnya taman Bungkul. Seperti yang sudah aku bayangkan sebelumnya, pada hari Minggu taman yang terletak di daerah Darmo ini pasti ramai.
Pukul 08.00 WIB aku sampai di sana. Sepeda motor sudah banyak terpakir di tempat parkir liar. Banyak sekali aktivitas orang-orang di tempat itu. aAda pedagang yang tengah sibuk menawarkan dagangannya, banyak anak kecil yang bermain di arena permainan, ada yang hanya sekedar duduk sambil mengobrol atau bercanda, ada pula yang sedang berorasi tentang air, karena kebetulan 22 Maret adalah hari air se-dunia.
Dari sekian banyak aktivitas yang ada, aku tertarik pada sebuah aktivitas di sebelah barat taman Bungkul. Apa yang ada di sana? Aku lihat 22 sepeda yang berjajar rapi menghadap ke barat. Sepeda itu berbahan besi, ber-sadel hitam, warnanya sudah hitam kecoklatan, dan berukuran besar.
Awalnya aku kira itu adalah orang-orang parkir biasa. Namun setelah lama mengamati dan memberanikan diri untuk bertanya, ternyata itu adalah perkumpulan sepeda kuno. Mereka adalah kumpulan orang yang menyukai sepeda kuno, dan mereka membentuk paguyuban-paguyuban.
Sayangnya waktu itu aku hanya menemui tiga paguyuban, yaitu PASKAS (Perkumpulan Sepeda Kuno Arek Suroboyo) bertempat di dekat Kotamadya, GASELA (Gabungan Sepeda Lawas) bertempat di Museum, dan Senopati bertempat di Banyu Urip.
Karena penasaran dengan perkumpulan sepeda ini, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada Wahyu(35) salah satu anggota PASKAS. Dia menceritakan banyak hal. PASKAS berdiri sejak tahun 1994, sementara dia sendiri baru setahun tergabung di dalamnya.
Sambil memegang-megang sepedanya, Wahyu menceritakan mengapa dia suka dengan sepeda kuno. “Dulu waktu SMP sampai SMA saya kan pake sepeda ini!” tuturnya. “Terus kan sepeda kuno itu kan unik, kuat. Kan dulu dipakai untuk bawa barang berat!” tambahnya. Dia juga mengatakan bahwa mencari sepeda kuno di Kota Pahlawan ini bukanlah hal mudah, sehingga dia harus mengambil dari kampung halamannya sendiri, yaitu Madiun.
Menurut Wahyu, hal terpenting dari perkumpulan ini adalah persaudaraan. Karena dari sekian banyak orang dari paguyuban berbeda pun bisa dikenal karena ada pertemuan-pertemuan singkat seperti hari ini.
Sebenarnya jika ditilik lagi, banyak yang bisa menarik perhatian kita selain karena bentuknya yang besar dan menurut para pemiliknya antic. Kita juga bisa melirik asesoris yang tertempel. Ada yang menggantungkan tape pada boncengan sepeda, ada yang memasang tempat minuman kecil terbuat dari kaca di sebelah kanan sepeda, ada pula yang menaruh pajangan hewan di bagian belakang sepeda.
Hahaha, ingin tertawa rasanya jika melihat polah para pengendara sepeda kuno yang sebagian besar adalah orang tua, rambutnya beruban, dan kulitnya berkerut. Ada lagi yang bisa menarik perhatian, dari pakaian yang mereka kenakan.Setiap paguyuban memiliki kostum masing-masing.
Ada yang memakai pakaian ala orang Belanda jaman dulu. Topi bundar dan pakaian berbahan safari berwarna coklat, sabuk lebar yang melilit pinggang, dan sepatu boot berwarna hitam. Ada juga yang mengenakan pakaian nyentrik. Kaca mata hitam, dipadu dengan kain yang diikatkan di kepala, lalu diikuti dengan jaket dan celana jins, dan tidak ketinggalan sepatu boot hitam. Menarik bukan?
Tapi ternyata, tidak hanya anggota paguyuban yang senang dengan sepeda kuno. Pengunjung di sana pun juga ada yang tertarik dengan sepeda kuno. Salah satunya adalah Waluyo(38). Pria asal Ponorogo ini mengaku juga suka dengan sepeda kuno, karena menurut dia benda itu terkesan antic. “Sepeda kuno itu punya nilai historisnya sendiri” tuturnya sambil memperhatikan sepeda- sepeda kuno yang ada dihadapannya.

Tagged: ,

0 comment:

Post a Comment

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^