22 September 2012

*REPOST DARI NOTE TERELIYE

Anak kami, Pasai, usianya dua tahun tiga bulan, jika disuruh bapaknya, 'Pasai, tolong ambilkan handuk, Nak,' dan dia tahu bapaknya menunggu, melihat, maka dia bergegas bangkit dari duduk mainnya, berlari ke tempat handuk, meski ujung handuk menyentuh lantai, menyeret handuk besar, dia tetap menyerahkannya dengan begitu gaya. Mendongak menatap bapaknya, seolah hendak bilang, aku sungguh2 melakukan tugas itu, Pak. Excellence. Perfection.

Kita, pekerja kantoran, berangkat pagi, pulang sore. Bekerja mengurus keperluan kantor/perusahaan/pabrik. Jika tiba2 disuruh oleh atasan, mengerjakan sesuatu, dan tahu kalau atasan itu menunggu, melihat, pekerjaan itu amat penting, maka kita akan bergegas menyisihkan pekerjaan lain, mulai sungguh2 menyelesaikan tugas baru tersebut. Ingin benar menunjukkan kalau kita semangat, serius, konsentrasi, lantas setelah selesai, menyerahkan hasil pekerjaan kepada atasan, sambil tersenyum. Excellence. Perfection.

Hampir di semua budaya yg kita sebut modern hari ini, negara2 maju, kota2 hebat, perusahaan2 mahsyur, excellence atau perfection ini menjadi bagian dari gaya hidup. Di kampus2 terkemuka, sekolah2 terkenal, mata pelajaran tentang excellence, perfection, menghiasi kurikulum. Guru2, dosen2, berceloteh ttg topik ini, dan tidak ketinggalan di mana2, kalangan akademis, praktisi, motivator, pembicara, istilah ini melekat sekali. Tanpa spirit excellence, tanpa semangat perfection, mereka tdk akan pernah menjadi seperti apa yg mereka capai hari ini.

Lantas, apakah 'budaya' execellence dan perfection ini milik mereka?

Oh my dear, itulah yang sering kita lalaikan. Excellence, perfection itu diajarkan dalam agama kita.

Jibril, dengan menggunakan tampilan fisik pemuda berwajah tampan, pada suatu hari muncul di hadapan Rasul Allah, lantas di tengah2 para sahabat yang ikut mendengar, Jibril bertanya empat hal. Pertama, tentang iman, dijawab oleh Nabi dengan menyebutkan rukun iman; kedua, tentang islam, dijawab oleh Nabi dengan menyebutkan rukun islam, dan yang ketiga, tentang ihsan. "Wahai Rasul Allah, apakah ihsan itu?" Dan Nabi menjawab, "Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu"

Itu benar2 sebuah tanya-jawab yang menakjubkan. Dan amat menggetarkan mendengar jawaban Nabi tentang Ihsan. Kenapa? Karena camkan dalam-dalam, Allah itu ghaib, maha suci Allah, tidak ada yg kuasa melihatnya di atas dunia ini, tapi kita disuruh beribadah seolah-olah melihatnya. Itulah sebenar-benarnya Ihsan, itulah kesempurnaan, level terbaik. Dan silahkan buka kamus bahasa Arab, kata Ihsan dalam bahasa arab berarti 'kesempurnaan', 'terbaik'. Excellence. Perfection.

Lantas, jika anak kami Pasai, begitu ingin excellence-nya dilihat bapaknya dalam urusan kecil mengambil handuk, jika kita sebagai pekerja kantor, begitu ingin perfection-nya dilihat atasan. Murid2 ingin dilihat sempurna oleh guru2nya. Pasangan ingin dilihat terbaik oleh pasangannya. Calon menantu ingin dilihat oke oleh calon mertuanya. Calon pemimpin, rela habis2an agar terlihat keren di depan calon pemilihnya. Apakah kita tidak tergerak utk terlihat 'ihsan' dalam beragama ini? Dan urusan ini, bukan hanya soal ihsan dalam ibadah besar, tapi juga ihsan dalam ibadah2 lainnya--yang akan luas sekali ruang lingkupnya. Bukankah kita disuruh mengisi kehidupan ini dengan beribadah, menyandarkan semua aktivitas sebagai ibadah? Maka otomatis, sepanjang hidup kita, kita seolah-olah melihat Allah, dan jika kita tidak mampu, kita meyakini selalu bahwa Allah melihat kita.

Tidak akan ada yg mencuri, mengambil hak orang lain. Tidak akan ada yg melanggar amanah. Tdk ada. Karena dia meyakini Allah melihatnya. Karena dia selalu menghadirkan Allah bagi dirinya. Jadilah muslim yang 'ihsan'. Maka excellence, perfection sudah seluruh hidup kita.

*pertanyaan ke-4 dari Jibril, silahkan cari tahu sendiri hadistnya. level hadist tsb sahih (Muslim)







(PHOTO)


Tagged: ,

1 comment:

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^