22 September 2012

*REPOST DARI TERE-LIYE

Esok paginya, aku jatuh sakit, demam panas.


Hujan deras, angin lembah, tampias menerpa beranda rumah. Aku sudah berusaha merapatkan tubuh ke kursi rotan, bergelung sebisa mungkin, tetap saja basah. Dengan perut lapar, kedinginan, pukul tiga dini hari aku akhirnya jatuh tertidur. Bapak lembut menggendongku masuk ke dalam, membaringkanku di atas dipan—Mamak menyelimutiku denga
n kemul, sayangnya aku tidak tahu bagian ini karena sudah terlelap kelelahan. 



Saat Amelia dan Burlian sudah bangun, berebutan mandi di pancuran belakang rumah, aku masih bergelung di atas dipan. Mamak meneriakiku agar bangun, aku tidak mendengarkan. Badanku panas, kerongkonganku kering, semua terasa sakit, bahkan tidak sempat berpikir kenapa aku sudah ada di dalam kamar. Sayup-sayup aku mendengar Bapak bilang, “Biarkan Pukat tidur sedikit lebih lama.” Mamak yang menjawab, “Nanti dia telat sekolah, tidak sempat sarapan.” Sisanya samar-samar. Kepalaku terasa berat. 



Amelia dan Burlian sudah berebutan makanan di dapur, saat Mamak masuk ke dalam kamar, menyuruhku bangun untuk kedua kalinya, aku hanya terdiam. Bukan karena rasa marah, sedih, sebal yang jelas masih tersisa, tetapi aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi menjawabnya. 



“Kau tidak sekolah hari ini, Pukat?” Intonasi Mamak sedikit melunak, beranjak duduk di dipan, menyentuh dahiku.


“Oi!” Mamak berseru, tangannya cepat menyentuh dada, leher dan bagian lain tubuhku, memeriksa. “Panas sekali badan kau.”


Mamak bergegas memanggil Bapak.


Bapak ikut memeriksa tubuhku.


Semua samar-samar, aku setengah sadar setengah tidak.

***
“Makan bubur-nya, Pukat.”


Mataku berkerjap-kerjap. Berusaha melihat sekitar, leherku terasa sakit digerakkan. Mengernyit, rasa nyeri menusuk kepala. Lampu canting menyala redup di atas meja. Suara jangkrik berderik, suara kodok berdengkang. Sepertinya di luar sudah gelap malam. Berapa lamakah aku tertidur barusan?


“Makan bubur-nya, Pukat.” Mamak lembut menyentuh lenganku.


Aku reflek menarik tangan, gerakan yang membuatku sedikit tersengal. Walau kesadaranku belum pulih benar, aku masih dengan jelas mengingat kalau Mamak sedang marah padaku. Malah aku merasa seperti baru terbangun dari beranda rumah yang tampias, dingin dan basah dengan seluruh badan terasa demam, kepala berat.


“Perutmu seharian tidak tersentuh makanan, Pukat.”


Aku mendengus dalam hati, bahkan lebih, bukankah kemarin malam Mamak melarangku makan. Aku memutuskan menatap langit-langit kamar.


“Tadi siang Ibu Saleha sudah memeriksa. Kata Bu Bidan, kau harus banyak makan dan minum biar lekas pulih. 


Ayo, buburnya dimakan, Sayang.”


Aku tetap memperhatikan langit-langit kamar. Sejak kapan Mamak memanggilku sayang. Aku tidak akan makan, biar Mamak puas.


“Kau masih marah pada Mamak?”


Aku diam saja. Menganggap Mamak tidak ada di sebelahku.
Mamak menghela nafas pelan. Meletakkan mangkok bubur di atas meja. Memperbaiki tudung rambut, beranjak ke luar kamar. Samar-samar aku mendengar Mamak dan Bapak bicara, juga suara Amelia dan Burlian yang bertengkar. Meski mulutku terasa pahit, perutku sebenarnya terasa lapar. Tetapi aku tidak akan makan disuapi Mamak, tidak juga makan dilihat Mamak. Kepalaku terasa semakin berat, mataku berkunang-kunang, tubuhku kembali menggigil.


Aku pelan menarik kemul, berusaha tidur.

***
Terbangun tengah malam, lepas pukul dua. Di luar hujan membungkus kampung. Mataku mengerjap-ngerjap menatap sekitar. Lampu canting masih menyala di atas meja, cahaya apinya bergoyang.


Aku beranjak duduk, tanganku menyentuh sesuatu di sebelah, Mamak yang duduk di bangku, jatuh tertidur dengan kepala tertelungkup di tepi dipanku. Kerudungnya terjatuh, memperlihatkan uban satu-dua. Aku menelan ludah, mengabaikan. Perutku lapar, beringsut meraih mangkok di atas meja. Hangat. Aku menyeringai senang, bubur nasi-nya masih hangat, juga gelas teh manis—dan dalam situasi itu, aku mana peduli untuk berpikir kenapa bubur nasi dan gelas teh ini tetap hangat. Aku tidak tahu kalau sejak sore, Mamak menggantinya setiap jam, berusaha agar kapanpun aku mau makan, bubur dan teh manis itu terhidang hangat bagiku. Mamak yang sekarang jatuh tertidur, kelelahan.


Itu malam pertama Mamak menunggui sakitku.

***
“Kompresnya dipakai, Pukat.”





“Tidak mau.” Aku berseru serak, tidak peduli kalau kerongkonganku terasa sakit dipaksa bicara.


“Biar panas kau turun.”
Aku meletakkan bantal menutupi wajah. Amelia dan Burlian yang berdiri di belakang Mamak saling lirik, mengangkat bahu.


“Sebentar saja, Pukat.” Mamak masih membujuk, menyentuh dadaku. “Badan kau panas sekali. Harus dikompres biar lekas sembuh.”


Aku hanya diam. Tetap tidak peduli.


Lima menit berlalu, aku menarik bantal di wajah (terasa pengap). Mamak tersenyum, mengira aku akhirnya mau dikompres.


“Pukat mau buang air kecil.” Aku menunjuk ember kecil di bawah dipan. Mendorong kasar tangan Mamak yang hendak meletakkan kain basah di kepala.


Mamak menghela nafas, beranjak meletakkan kain basah di atas meja, meraih ember kecil. Amelia dan Burlian tertawa, “Kak Pukat sudah besar masih pipis di kasur.” Amelia mengolok-olokku. Aku menatapnya galak. Mamak menyuruh mereka bermain di luar.


Sebenarnya aku tidak ingin buang air kecil. Aku senang-senang saja melakukannya. Mamak bergegas membawa ember kecil itu keluar kamar, membersihkannya. Hari ini saja aku hampir sepuluh kali pura-pura ingin pipis. Sama halnya dengan pura-pura hendak buang air besar. Mamak akan memapahku ke kamar mandi. Aku juga melakukannya saat terbangun malam hari, mendorong-dorong lengan Mamak yang jatuh tertidur di sebelahku. 
Berseru serak, “Pukat mau buang air kecil.” Mamak memperbaiki rambut masainya, berusaha tersenyum mengambil ember di bawah dipan. 




Wajar-wajar saja Mamak repot, jelas-jelas aku sakit karena Mamak. Mana pula aku peduli kalau Mamak menghentikan seluruh pekerjaannya hanya untuk menungguiku.
Itu malam ketiga Mamak menungguiku.

***
Hari ketiga, kondisiku memburuk. Jangankan menolak Mamak mengompres, mengacuhkan Mamak, bilang hendak pipislah, hendak buang air besar, untuk sekadar beranjak duduk saja kepalaku terasa berat. Badanku panas, berkeringat, mulai menggigil.


Sepanjang hari aku hanya tiduran. Tidak menolak saat Mamak menyuapi, menyuruh meminum obat, atau meletakkan kain basah di dahi. Tubuhku terasa lemas. Dan untuk pertama kalinya aku menatap wajah Mamak sembunyi-sembunyi. Air muka Mamak lelah, kurang tidur berhari-hari, tudung putihnya tersampir di leher. Wajah lelah yang segera terhapus, digantikan senyum mengembang setiap kali aku menghabiskan bubur di mangkok dan menelan pil dari Bu Bidan. Di antara demam panas dan gigil tubuh, aku mulai menyadari betapa lembut Mamak menyentuh dadaku, dahiku, memastikan aku baik-baik saja. Gerakan tangannya menyuapi—
Oi, peduli amat, itu memang kewajibannya, separuh hatiku segera membantah. Itu semua tidak lebih karena rasa sesal Mamak telah menghukumku tidak makan dan tidur di luar hingga aku jatuh sakit. Aku mendengus pelan, memiringkan badan menghadap dinding, membelakangi Mamak yang sedang mengaji di kursi. Beranjak tidur kembali.


Pukul dua malam aku terbangun, bukan karena hendak pipis. Perutku mual. Kepalaku pusing sekali. Aku menyentuh lengan Mamak, berusaha membangunkan, dan belum selesai Mamak memperbaiki anak rambut di dahi, aku sudan muntah. Mengotori lantai kamar.


“Kau baik-baik saja, Pukat?” Walau Mamak terlihat tenang, suaranya berdenting kecemasan. Tangannya segera meraih ember di bawah tempat tidur.


Aku menggeleng, wajahku kuyu, tidak terlalu mendengarkan pertanyaan Mamak, perutku bergejolak lagi, muntah kedua kalinya. Ketiga kalinya. Mamak lembut mengurut tengkukku, “Istigfar, Sayang. Istigfar.” Memberikan gelas air putih hangat.


Lima belas menit, serangan mual itu berlalu. Mamak membantuku berbaring lagi. Saat itulah semua kebencian, prasangka buruk, rasa marahku kepada Mamak berakhir. Dengan kondisi tubuh lemah, kepala tergolek di bantal, aku menatap Mamak yang meraih kain, mengelap keringat di dahiku.


Itu malam kelima Mamak menungguiku. Tidak lepas aku dari pandangannya yang awas. Selalu memastikan aku baik-baik saja. Mamak kurang tidur, tidak enak makan dan dipenuhi banyak pikiran, tetapi air mukanya tetap teduh. Tangannya lembut menyeka peluhku.


“Kau lihat apa, Pukat?” Mamak bertanya, tersenyum, menyadari kalau aku memperhatikannya.
Aku hanya diam, dadaku tiba-tiba terasa sesak, mataku terasa panas. Di luar gerimis kembali turun. Disahuti dengking kodok hutan yang riang menyambut hujan.


Mamak jongkok membersihkan muntahku di lantai. Gerakan tangannya cekatan, seperti tahu benar apa yang sedang dan akan dikerjakannya, keluar sebentar membawa ember kotor, masuk kembali dengan dua helai pakaian bersih.


“Kau ganti baju, ya. Yang ini sudah kotor terkena muntah.”


Aku mengangguk. Membiarkan Mamak menuntunku duduk, tangannya yang lembut bergerak cepat, nafasnya yang mengenai kepalaku. Mataku sudah berair. Lihatlah, dua helai baju ini bersih dan disetrika rapi. Rasanya hangat dan wangi. Sepuluh tahun lebih Mamak mencuci pakaianku, mungkin berbilang beribu kali dia melakukannya, berjuta potong baju telah dia siapkan untukku, bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya. Aku hanya tahu pakaian-pakaian kami ada di lemari, sudah siap digunakan. Kalau kotor, tinggal dilepas, dilempar ke ember cucian. Dadaku yang sesak berubah menjadi isakan.


Aku memeluk Mamak.


“Kau kenapa, Pukat?” Mamak yang setengah jalan mengganti pakaianku menyeringai bingung.


“Maafkan Pukat, Mak. Sungguh maafkan Pukat.”


Oi, sepuluh tahun lebih Mamak memasakkan makanan untukku. Sudah berapa juta butir nasi yang disiapkannya. Berapa ratus ribu gelas air minum yang dijerangnya. Bertumpuk-tumpuk piring sayur dan lauk yang boleh jadi sudah setinggi bukit. Penuh kasih-sayang, tanpa pernah berharap imbalan selain doa agar kami menjadi anak yang baik. Bagaimana mungkin aku menuduh Mamak benci kepadaku, tidak lagi sayang. Belum lagi saat kami jatuh sakit, dia mengurus air kencingku, muntahku, berakku, semuanya, tanpa lalai meninggalkan kewajiban lain.


“Maafkan Pukat, Mak. Sungguh.” Malam itu aku menyadarinya.


Bapak benar, “Jangan pernah membenci Mamak kau, jangan sekali-kali… karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kalian, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”


“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sayang.” Mamak tersenyum lebar, membalas pelukanku. Dan aku tergugu, lihatlah, aku seperti bisa melihat wajah wanita paling cantik sedunia. Wanita yang akan selalu menyayangiku, wanita nomor satu dalam hidupku. Itulah Mamakku.


Di luar orkestra kodok terdengar indah sekali.

*novel 'Pukat', serial anak2 Mamak #3







(PHOTO)


Tagged: ,

0 comment:

Post a Comment

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^