30 January 2014

Dingin Bromo mungkin sanggup membekukan jemari, membuat siapa saja lebih memilih berlama-lama dibawah selimut dibandingkan berlari keluar dimalam hari, membuat hujan yang sudah dingin akan terasa lebih dingin. Namun dingin ini yang membuat siapa saja akan rindu untuk kembali lagi kesana. Memeluk dingin dalam heningnya malam Bromo.

Bromo, 25 Januari kemarin, tidak ada lagi yang mampu saya rasakan selain dingin. Hari itu saya memulai perjalanan menuju gunung dengan pesona terindah sepanjang masa. Bersama 5 orang teman lainnya, Avanza veloz putih melaju dengan gagah menembus berderet-deret mobil sepanjanga jalan Sidoarjo – Bromo. Iya saya berangkat dari Sidoarjo, waktu itu pukul 19.30 WIB.

Malam itu saya begitu menikmati jalanannya yang berliku-liku. Maklum, terakhir kali saya ke Bromo ketika saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar, sudah sangat lama, dan kali ini saya tidak ingin menyia-nyiakan perjalanan ke sana. Tikungan-tikungan tajam yang biasanya hanya saya lihat melalui permainan Need For Speed, hari itu saya mengalaminya. Saya tidak pegang setir, tapi cukup dengan ikut melihat kedepan, melihat sendiri bagaimana tikungan tajam menanjak dilalui mobil yang saya tumpangi, dan saya merasakan bagaimana deg-degan melalui jalanan seperti itu.

22.30 WIB, saya sudah sampai di sana. Memang belum mencapai puncak, namun tempat itu adalah batas terakhir mobil pribadi boleh masuk. Karena masih terlalu lama untuk menunggu fajar, maka kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah penduduk. Rumahnya tidak terlalu besar, memiliki 2 kamar tidur lengkap dengan kamar mandi dalam, 4 tempat tidur besar, dan 2 ruang tamu, rasanya rumah ini cukup besar untuk kami berenam. Dengan harga yang tidak terlalu mahal, Rp 400.000,-, kami bisa sejenak meluruskan kaki dan merebahkan punggung setelah perjalanan jauh.

Sembari menunggu pagi, kami mengisi perut yang sedari tadi sore belum terisi apapun. Seperti biasa, makanan favorit di daerah dingin seperti ini adalah makanan berkuah panas dan cepat saji. Dan inilah yang kami pesan. Mie Cup yang matang cukup dengan disedu dengan air panas selama 10 – 15 menit.


Kalian tidak akan pernah merasakan kenikmatan seperti ini jika memakan mie cup di rumah. Disini meski belum menginjak dini hari, hawa dingin sudah memeluk tubuh sedikit demi sedikit. Dingin yang tidak bisa dilawan, tidak bisa ditolak, hawa dingin yang tiba-tiba menyergap tanpa bertanya apakah kita mau bersamanya. Tetapi canda tawa, mie cup, dan segelas kopi panas, ditambah dengan foto-foto, semua itu mampu mengusir dingin yang sempurna bercampur dengan udara disekeliling.


Setelah mie cup tandas, segelas kopi habis, canda tawa hilang, dan sesi foto selesai, kami hanya tinggal menunggu pagi. Merebahkan punggung yang mulai lelah karena perjalanan, meluruskan kaki yang sedikit terasa linu karena dingin. Dan kami pun terlelap dalam buaian hangat selimut masing-masing.

Bersyukur Tuhan tidak hanya menciptakan dingin, namun juga memberikan hangat. Yang saat ini sedang merasa Tuhan tidak adil. Tolong dipikirkan kembali.

Disini kalian tak perlu khawatir akan bangun kesiangan. Sebelum memesan makanan tadi, kami sudah berpesan kepada Bapak yang menyewakan jeep dan rumah untuk membangunkan kami pukul 03.00 WIB. Waktu dimana semua perjalanan menyenangkan sesungguhnya di Bromo akan dimulai. Waktu penanjakkan bersama puluhan batu, tumbuhan, dan edelweis yang abadi.

Cerita ini tidak berhenti sampai disini. Karena Bromo menyimpan banyak cerita menyenangkan yang menarik untuk ditulis. Ikuti terus ya.



 From: Lounge

Tagged: , , , ,

0 comment:

Post a Comment

Monggo berkomentar, ditunggu lho.. ^_^